Kesadaran pertapa Gautama akan pelenyapan penderitaan,
sehingga memperoleh Pencerahan Sempurna sebagai Buddha pada usia 35 tahun,
membuktikan usaha Beliau mencari Kebenaran bisa berhasil. Selama enam tahun,
pertapa Gautama mengalami usaha yang sia-sia dalam mencari solusi terhadap
masalah penderitaan makhluk hidup. Beliau juga telah mencoba berbagai cara
bertapa dari para guru pertapa untuk melenyapkan penderitaan yang ternyata
mereka juga belum berhasil. Hingga akhirnya Beliau menemukan solusi masalah
kehidupan tersebut dengan caranya sendiri .
Keyakinan terhadap Ajaran Sang Buddha [Sraddha/Saddha]
Setelah menyadari Kebenaran dengan usaha Beliau sendiri,
Buddha Gautama menawarkan kepada semua orang yang siap untuk mendengarkan.
Kura-kura dan Ikan
Ada suatu cerita kuno mengenai kura-kura dan ikan. Kura-kura dapat tinggal
di darat dan juga di laut, sedangkan ikan hanya tinggal di laut. Pada suatu
hari, ketika kura-kura kembali dari perjalanannya di darat, dia menceritakan
kepada ikan tentang pengalamannya. Dia menjelaskan, bahwa segala makhluk hidup
berjalan dan tidak ada yang berenang. Ikan tersebut menolak untuk percaya bahwa
ada jalan yang kering di daratan, karena ikan tidak pernah mengalami hal
tersebut.
Sama seperti manusia yang belum mengalami pelenyapan
penderitaan, tetapi bukan berarti bahwa tidaklah mungkin untuk melenyapkan
penderitaan. Seorang pasien haruslah mempunyai kepercayaan terhadap dokter yang
berpengalaman, kalau tidak dia tidak akan menebus obatnya di apotik,
sebagaimana resep yang diberikan oleh dokter tersebut, sehingga sakitnya tidak
bisa disembuhkan. Demikian juga kita harus mempercayai ajaran Buddha Gautama
yang telah memperlihatkan jalan untuk melenyapkan penderitaan.
Pelenyapan Penderitaan
Pelenyapan penderitaan merupakan tujuan utama Ajaran
Buddha Gautama. Hal tersebut dapat dialami oleh setiap orang dimanapun mereka
berada. Sebagai contoh, apabila keserakahan dan kemarahan muncul di dalam
pikiran akan menyebabkan ketidakbahagiaan. Apabila perasaan serakah dan marah
tersebut telah lenyap, maka pikiran akan bahagia dan damai. Untuk melenyapkan
penderitaan secara tuntas, seseorang harus menghilangkan nafsu keinginan
rendah, kebencian dan kebodohan batin. Inilah yang disebut Kebenaran Mulia
Ketiga, yaitu Pelenyapan Penderitaan.
Mungkin Anda akan merasa bergidik, apabila mendengar kata
`pelenyapan' dimana seolah-olah Ajaran Buddha Gautama menganjurkan agar semua
hal-hal duniawi harus lenyap dari diri Anda, sehingga Anda tidak bebas untuk
berkeluarga, mencari uang, memiliki kedudukan yang tinggi dan menikmati
kesenangan hidup duniawi. Semua kekhawatiran tersebut tidaklah benar adanya.
Ajaran Buddha Gautama adalah suatu ajaran yang bertujuan untuk mencari
Kebahagiaan. Ajaran Buddha Gautama tidak menolak kehidupan normal, tetapi hanya
menolak kehidupan yang berlebihan akan kemelekatan terhadap kenikmatan materi
duniawi yang rendah saja. Sehingga apabila Anda mempercayai Ajaran Buddha
Gautama, masih dapat berkeluarga, bekerja untuk mencari nafkah, dan hidup
sebagaimana kehidupan normal. Dalam salah satu Sutra diuraikan, bahwa terdapat
seorang umat awam yang bernama Vimalakirti
yang sudah menikah dan sangat kaya. Akan tetapi dia tidak menjadi budak
nafsu keinginan materi. Di dalam Sutra, ia digambarkan, " Meskipun menjalankan kehidupan berumah tangga, dia tidak
memiliki keterikatan pada tiga jenis alam; meskipun menikah, dia selalu melatih
kehidupan suci"
Kebahagiaan
Buddha Gautama mengajarkan, bahwa pelenyapan penderitaan
merupakan kebahagiaan sempurna. Setiap langkah yang menuju kepada pelenyapan
penderitaan selalu disertai dengan peningkatan kebahagiaan. Mereka yang
mengikuti Ajaran Buddha Gautama akan hidup bahagia tanpa keserakahan di antara
mereka yang masih dikuasai oleh nafsu keserakahan. Mereka akan merasakan hidup
bahagia tanpa kebencian di antara mereka yang masih diperbudak oleh kebencian.
Makin banyak keserakahan yang dapat dijauhkan, makin besarlah kebahagiaan yang
akan diperoleh. Apabila kita telah dapat menghilangkan keseluruhan sifat
serakah dan kebencian , maka akan diperoleh kebahagiaan sempurna sebagaimana
yang dialami oleh Buddha Gautama.
Buddha
Gautama bersabda : " Sungguh
bahagia jika kita hidup tanpa membenci di antara orang-orang yang membenci; di
antara orang-orang yang membenci kita hidup tanpa membenci. Sungguh bahagia,
jika kita hidup tanpa keserakahan di antara orang-orang yang serakah; di antara
orang-orang yang serakah kita hidup tanpa keserakahan." (Dhammapada,
197, 199)
Pencerahan
Dengan menempatkan ajaran Buddha Gautama dalam kehidupan
sehari-hari, maka akan diperoleh juga Pencerahan Sempurna. Pencerahan merupakan
suatu hal yang tidak dapat dikuantifikasikan, dimana kebijaksanaan dan kasih
sayang adalah yang paling utama. Dengan kebijaksanaan dan kasih sayang, Beliau
mampu menolong seluruh makhluk mengatasi penderitaan.
Bagaimanakah keadaan seseorang yang telah memperolah
Pencerahan ? Bagi mata orang biasa, manusia yang telah mencapai Pencerahan
tampak sangat aneh. Dalam catatan Buddhisme Zen
[Ch'an] , para Mahabhikshu Zen
yang telah mencapai Pencerahan memiliki cara-cara yang berbeda untuk
mengekspresikannya. Beberapa di antaranya tertawa terbahak-bahak, atau berdiam
diri tanpa mengeluarkan sepatah katapun, hingga ada yang memukul guru mereka,
di mana guru mereka dapat menyetujui tindakan tersebut. Jenis kelakuan seperti
ini benar-benar tidak dapat diterima oleh orang biasa. Akan tetapi, bagi
manusia yang telah memperoleh Pencerahan, ekspresi seperti ini adalah Zen [Ch'an].
Pada saat kita menyadari Kebenaran Sejati, maka pada saat
itulah kita telah memperoleh Pencerahan. Sering terdapat orang yang berusaha
mencari kebahagian dari hal-hal diluar dirinya, padahal Pencerahan itu sendiri
ada dalam diri masing-masing. Bentuk luar hanyalah merupakan penampakan maya
yang menghalangi pandangan sejati kita.
Meniru Sang Guru
Ada suatu cerita dimana terdapat seorang bhikshu muda yang berguru kepada
seorang Mahabhikshu Zen yang terkenal telah memperoleh Pencerahan, sehingga
dinamakan Yang Tercerahkan. Namun sesudah mengikuti sekian tahun segala tingkah
laku gurunya tersebut, mulai dari bangun siang, makan berisik, jalan seenaknya,
sampai hal-hal lainnya termasuk cara berteriak dan bicara, tetap saja bhikshu
muda ini merasa belum mencapai pencerahan. Akhirnya timbul keraguan dalam
dirinya bahwa kemungkinan besar gurunya ini belum mencapai pencerahan
sebagaimana julukan yang diberikan kepadanya.
Pagi-pagi berikutnya, si bhikshu muda menemui gurunya dan telah memutuskan
untuk pergi dengan berkata, "Guru, saya telah mengikuti guru sekian lama
dan telah meniru segala perbuatan guru seperti bangun siang, makan berisik,
jalan dan teriak seenaknya sampai kadang-kadang tiga hari tidak mandi juga
sebagaimana kebiasan guru, namun saya tetap merasakan belum memperoleh
pencerahan. Dan saya sendiri ragu kalau guru telah mencapai pencerahan. Untuk
itu saya memutuskan meninggalkan guru!"
Mendengar itu sang Mahabhikshu ketawa, "Ha....ha....ha...., muridku
yang malang. Siapa suruh engkau mencari pencerahan di luar dari dirimu sendiri.
Masih untung saya tidak bertingkah laku seperti seorang suci yang telah
mencapai pencerahan, karena kemungkinan Anda akan nantinya membenci semua orang
suci yang engkau temui." Begitulah akhirnya bhikshu muda itupun menyadari
akan suatu Kebenaran Sejati dan langsung tercerahkan, kemudian dia membatalkan
keputusan untuk meninggalkan gurunya.
Kebenaran Nirvana
Pelenyapan penderitaan telah diuraikan sebagai
kebahagiaan sempurna dan Pencerahan. Bagaimanapun, kondisi ini tidaklah seluruhnya
mencerminkan kesunyataan dari pelenyapan penderitaan atau Nirvana. Nirvana
tidak dapat begitu saja diuraikan dengan kata-kata. Usaha untuk menguraikan
Nirvana hanyalah seperti mengatakan durian itu enak dan tidak seperti ketimun
atau kentang. Seseorang haruslah memakan durian untuk mengetahui rasanya.
Demikian juga kebenaran Nirvana haruslah dialami sendiri. Kebenaran Nirvana
bukanlah dihasilkan [uppadetabba]
tetapi haruslah dicapai sendiri [pattabba].
Proses pencapaian Nirvana tersebut dapat diperoleh dalam kehidupan kali ini
juga, sehingga kita janganlah karena berpedoman adanya konsep tumimbal-lahir
lalu menunda pencapaian Nirvana tersebut pada kelahiran yang akan datang.
Apabila setiap orang memiliki keyakinan akan Ajaran Sang
Buddha dan mengamalkannya, maka mereka akan memperoleh kebahagiaan yang damai
dan mengalami Pencerahan. Disebutkan dalam sutra, " Jika seseorang ingin mengetahui tentang
keadaan pikiran Buddha, dia harus mengembangkan pikirannya seperti ruang
kosong."
Cendekiawan Meminum Teh
Pada jaman dulu di Tiongkok terdapat seorang cendekiawan yang sangat
menguasai segala filsafat kehidupan serta memiliki kedudukan yang tinggi di
pemerintahan. Tetapi karena adanya suatu kesalahan dalam keputusannya yang
disebabkan oleh sifat kesombongannya, maka raja mengutuskannya untuk bertemu
dengan seorang Mahabhikshu Zen.
Setelah bertemu dengan Mahabhikshu tersebut yang duduk tanpa
memperdulikannya, demikian juga cendekiawan tersebut yang karena kesombongannya
tidak mau memberikan hormat kepada Mahabhikshu tersebut. Maka mereka berdua
saling duduk tanpa terucap sepatah katapun, malah saling membuang muka persis
seperti orang pacaran yang baru bertengkar hebat.
Setelah sekian lama, Mahabhikshu mulai menuangkan teh ke cawan cendekiawan
tersebut. Teh terus dituangkan sampai seluruh cawan itu telah penuh dan air teh
meluber keluar. Melihat ini cendekiawan tersebut berteriak, "Kenapa Anda
masih menuangkan teh ini terus padahal telah penuh?" Sang Mahabhikshu
memberikan suatu jawaban yang ringkas, "Sama seperti pikiran Anda yang
telah penuh, sangatlah sulit untuk dapat diisi lagi!" Cendekiawan yang
memang pintar ini langsung mengerti dan bersujud memanggil guru kepada
Mahabhikshu tersebut.
Post a Comment