Enam Paramita tersebut terjalin sebagai satu kesatuan,
karena pengaruh dari ajaran Asanga
(pendiri Yogacara) sebagaimana
disebutkan dalam Mahayana Sutralankara
dengan urutan : dana-sila-ksanti-virya-dhyana-prajna.
Adapun dalam pelaksanaan paramita ini dapat dibagi dalam tiga tingkatan
sebagaimana tersebut dalam Lankavatara
Sutra, yaitu :
Tingkat
Biasa;merupakan suatu pelaksanaan paramita dengan harapan untuk memperoleh
pahala baik pada masa kehidupan saat ini maupun pada kehidupan berikutnya.
Tingkat
Luarbiasa; merupakan suatu pelaksanaan paramita dengan tujuan untuk mencapai
nirvana, untuk tidak dilahirkan kembali.
Tingkat
Tertinggi; merupakan suatu pelaksanaan paramita oleh para Bodhisattva dalam
usahanya untuk menyelamatkan semuat makhluk dari lingkaran penderitaan [samsara].
bacalah: kelahiran kembali
bacalah: kelahiran kembali
1. Dana Paramita
Dana
Paramita merupakan perbuatan
luhur tentang beramal, berkorban baik materi maupun non-materi. Dana paramita
ini dapat digolongkan lagi atas : Dana,
Atidana (yang lebih tinggi) dan Mahatidana
(yang tertinggi).
Para penerima Dana
dapat dibagi atas tiga kategori, yaitu (1) dana kepada teman dan keluarga; (2)
dana kepada yang membutuhkan, yang miskin, yang menderita dan yang tidak
berdaya; (3) dana kepada para bhikshu/bhikkhu dan para brahmana (orang suci
Hindu). Dana yang diberikan adalah merupakan milik kekayaan.
Atidana adalah merupakan suatu pemberian dana dimana merupakan
miliknya yang terakhir dengan tujuan pemupukan kebajikan untuk mengatasi
kemelekatan terhadap rasa cinta yang dapat dianggap sebagai penghambat menuju
jalan Kebuddhaan, sehingga menimbulkan kepribadian yang luhur. Contoh
pelaksanaan Atidana dikisahkan dengan baik dari cerita Raja Visvantara yang
dikutip dari Jatakamala dan Avadana Kalpa Lata.
Pangeran Menyerahkan Semuanya
Visvantara merupakan putra Raja Sanjaya. Beliau telah membagi habis harta miliknya
sebagai derma , sampai akhirnya Beliau menyerahkan juga gajah putih milik
kerajaan kepada kaum pendeta. Kedermawaannya yang tinggi tersebut menyebabkan
ayahnya mengusirnya dari kerajaan untuk dikucilkan di Gunung Vanka.
Visvantara dalam perjalanan ke Gunung Vanka ditemani oleh istrinya dan dua
orang anaknya dengan menaiki kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda. Di
tengah perjalanan, mereka bertemu seorang pendeta yang meminta kuda-kuda mereka
dimana diberikan semua oleh Beliau. Pada kesempatan lain, keretanya juga
diberikan kepada pendeta lain yang ditemuinya. Akhirnya mereka meneruskan
perjalanan dengan berjalan kaki dimana Visvantara menggendong putranya, dan
istrinya menggendong putrinya. Sesampainya di tempat tujuan, mereka tinggal di
rumah yang terbuat dari daun-daunan.
Pada suatu hari sewaktu istrinya sedang pergi, datanglah seorang brahmana
yang meminta kedua orang anaknya untuk dijadikan pelayannya. Visvantara tidak
sanggup untuk menolak permintaan seorang brahmana, sehingga diserahkannya kedua
anaknya tersebut juga. Kejadian tersebut menggugah Deva Sakra yaitu pemimpin
para Deva yang kemudian muncul dalam penyamarannya sebagai seorang pendeta yang
miskin dan memohon kepada Visvantara agar dapat menyerahkan istrinya kepadanya.
Tentu saja permohonan inipun dikabulkannya, dan atas ketulusan Visvantara
kemudian Deva Sakra menjelma kembali ke bentuk aslinya dan memberkahi
Visvantara. Brahmana yang membawa kedua anaknya kemudian menyerahkannya kepada
kakeknya, Raja Sanjaya .
Kejadian ini membuat Raja Sanjaya dan rakyatnya menjadi terharu sehingga
Visvantara dipanggil kembali dan diberikan kedudukan kembali sebagai pangeran
kerajaan yang kemudian hari menjadi Raja menggantikan ayahnya.
Mahatidana merupakan
pengorbanan dana tertinggi karena yang diberikan adalah anggota tubuh seorang Mahasattva. Pengertian anggota tubuh ini
dapat mencakup daging, darah, organ mata ataupun organ tubuh lainnya, bahkan
seluruh tubuhnya karena Sang Mahasattva
sudah tiada mempunyai sedikitpun rasa cinta kepada semuanya itu. Kesediaannya
memberikan pengorbanan yang besar ini merupakan pencurahan kasih yang luar
biasa kepada makhluk hidup dengan tujuan untuk mengakhiri penderitaan. Terdapat
banyak kisah di dalam Jataka yang menceritakan tentang pemberian mahatidana
oleh Sang Bodhisattva Mahasattva.
Salah satunya adalah kisah di bawah ini.
Bodhisattva Mengorbankan Tubuh
Pada suatu masa yang silam, hiduplah Raja Maharatha bersama tiga putranya,
Mahapranada, Mahadeva, dan Mahasattvavan. Pada suatu hari ketiga pangeran
berjalan di dalam suatu hutan yang besar dan sunyi, dimana di tengah perjalanan
mereka bertiga bertemu dengan seekor harimau betina yang baru beranak lima
ekor. Tubuh harimau betina begitu kurus dan lemah karena lapar dan haus. Mereka
bertiga membicarakan tentang keadaan harimau tersebut dan membayangkan
bagaimana bisa harimau betina yang malang tersebut beserta anak-anaknya dapat
bertahan hidup.
Mahasattvavan kemudian meminta agar kedua saudaranya berangkat dulu dengan
mengatakan nanti dia akan menyusul ke lembah karena hendak melakukan sesuatu.
Setelah ditinggal sendirian, maka Mahasattvavan berucap kepada harimau
tersebut, "Saya terharu dan dengan rela memberikan tubuh saya untuk
kebaikan dunia dan untuk pencapaian bodhi." Kemudian dia melemparkan dirinya
di hadapan harimau betina tersebut, namun harimau yang lemah tersebut tidak
dapat berbuat apa-apa terhadap dirinya. Mahasattvavan akhirnya mengambil
sebilah bambu tua yang ditemukannya di sekitar lokasi tersebut dan memotong
kerongkongannya sehingga mati terbaring dekat harimau tersebut.
Uraian lebih detail mengenai Dana ini akan dibahas dalam bab tersendiri <Bag1-15.html>.
2. Sila Paramita
Sila
Paramita merupakan perbuatan
luhur tentang hidup bersusila, tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak
baik oleh badan [kaya], ucapan [vak], dan pikiran [citta].
Pelaksanaan Sila Paramita merupakan pelengkap dari
seorang Bodhisattva yang telah melaksanakan Dana Paramitha. Pelaksanaan Sila
Paramita ini dapat diumpamakan kaki ataupun mata dimana tanpa kaki maka
seseorang akan terjatuh ke dalam bentuk kehidupan yang penuh kejahatan, ataupun
tanpa mata maka seseorang tidak akan dapat melihat Dharma.
Terdapat tiga pengertian dalam menguraikan Sila Paramita,
yaitu
Kebajikan
moral secara umum dimana kepribadian yang menganggumkan merupakan ciri
utamanya;
Kebajikan
moral yang dikaitkan dengan suatu cita-cita penyucian yang direalisasikan
melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan;
Kebajikan
moral yang dikaitkan dengan lima ajaran moral [Pancasila Buddhis) dan sepuluh
jalan tindakan yang baik dan bermanfaat dimana merupakan latihan moral
kebajikan bagi umat awam.
Pelaksanaan Sila merupakan suatu usaha seorang
Bodhisattva untuk memusnahkan seluruh tiga akar kesengsaraan atau tiga racun
dunia, yaitu:
raga yang
dapat dianggap sebagai persamaan kata lobha
yaitu hawa nafsu, gairah, kesenangan perasaan.
dvesa [dosa] yaitu kebencian, keinginan buruk
moha yaitu
kebodohan batin, khayalan, kebingungan mengenai pikiran
Dalam melatih Sila Paramita, maka terdapat sepuluh
pantangan yang harus dijalankan seorang Bodhisattva, yaitu :
Pantang
membunuh makhluk hidup
Pantang
mencuri
Pantang
dari ketidak-sucian
Pantang
berbicara bohong
Pantang
memfinah
Pantang
berbicara kasar
Pantang
terhadap kesembronoan dan berbicara yang tidak berarti
Pantang
terhadap sifat iri hati
Pantang
terhadap sifat dengki
Pantang
dari pandangan salah
Urain lebih detail mengenai Sila ini akan dibahas dalam bab tersendiri. <Bag1-14.html>
3. Ksanti Paramita
Ksanti merupakan suatu perbuatan luhur tentang kesabaran. Ksanti
Paramita mencakup tiga pengertian, yaitu, kesabaran, ketabahan, dan ketulusan
hati. Seorang Bodhisattva haruslah melatih kesabaran karena ketidaksabaran akan
mudah menimbulkan kemarahan dimana dapat menghancurkan semua pemupukan
kebajikan yang telah terhimpun.
Ketidaksabaran dalam bertindak sering menenggelamkan kita
dalam lautan penderitaan yang menyebabkan penyesalan yang berkepanjangan.
Penyesalan dari Ketidaksabaran
Hsiau-fei adalah seorang mahasiswa yang sebentar lagi akan di wisuda. Dia
sangat mendambakan akan mendapatkan hadiah wisuda dari ayahnya, seorang
pengusaha kaya yang sangat menyayanginya sebagai anak satu-satunya. Hsiau-fei
selama berhari-hari telah membayangkan akan mengendarai mobil BMW idamannya
sambil bersenang-senang dengan temannya.
Saat yang ditunggupun tibalah, dimana setelah wisuda dengan langkah penuh
keyakinan Hsiau-fei melangkah menemui ayahnya yang tersenyum sambil berlinang
air mata menyampaikan betapa dia sangat kagum akan anak satu-satunya dan
sungguh dia mencintainya. Ayahnya kemudian mengeluarkan sebuah kado yang
dibungkus rapi, dan sungguh hal ini membuat Hsiau-fei terpaku karena bukanlah
kunci mobil BMW sebagaimana yang diharapkannya. Dengan perasaan gundah,
dibukanya juga kado tersebut dimana berisi kitab Buddha Vacana yang terjilid
rapi berlapiskan tulisan emas nama Hsiau-fei di sampul depannya. Hancur sekali
hati Hsiau-fei menerima hadiah kitab tersebut, dan dengan marah tanpa dapat
terkendalikan, dia membanting kitab tersebut sambil berteriak nyaring,
"Apakah ini cara ayah mencintai saya, padahal dengan uang ayah yang banyak
tidaklah sulit untuk membelikan hadiah yang memang telah ayah ketahui sudah
lama saya idamkan!!" Kemudian Hsiau-fei tanpa melihat reaksi ayahnya lagi,
berlari kencang meninggalkannya dan bersumpah tidak akan menemuinya lagi.
Hari , bulan dan tahunpun berganti. Hsiau-fei yang telah pindah tinggal di
kota lain akhirnya berhasil menjadi seorang pengusaha yang sukses karena
bermodalkan otaknya yang cemerlang. Selain memiliki rumah dan mobil yang mewah,
dia juga telah berkeluarga dan mempunyai tiga anak. Sementara ayahnya sudah
pensiun dan semakin tua serta tinggal sendirian. Ayahnya selalu menanti
kedatangan Hsiau-fei sejak hari wisuda tersebut dengan satu harapan hanya untuk
menyampaikan betapa kasihnya dia kepada Hsiau-fei. Hsiau-fei adakalanya juga
rindu kepada ayahnya, namun setiap kali mengingat kejadian hari wisuda
tersebut, diapun menjadi marah kembali dan merasa sakit hati atas hadiah kitab
dari ayahnya.
Sampai suatu hari, datanglah telegram dari tetangga ayahnya yang
memberitahukan bahwa ayahnya telah meninggal dunia, dan sebelum meninggal dia
telah meninggalkan surat wasiat kepada Hsiau-fei dimana semua hartanya akan
diwariskan kepadanya. Akhirnya Hsiau-fei memutuskan untuk pulang mengurus harta
peninggalan ayahnya.
Memasuki halaman rumahnya, timbullah rasa penyesalan yang menyebabkannya
sedih sekali memikirkan sikap ketidaksabarannya khususnya pada saat wisuda.
Hsiau-fei merasa sangat menyesal telah menolak ayahnya. Dengan langkah berat
dia memasuki rumah dan satu per satu perabot diperhatikannya yang
mengingatkannya akan semua kenangan indah tinggal bersama ayahnya. Dengan kunci
wasiat yang diterimanya, dia membuka brankas besi ayahnya, dan menemukan kitab
Buddha Vacana dengan ukiran emas namanya, hadiah hari wisuda. Dia mulai membuka
halaman kitab tersebut, dan menemukan tulisan tangan ayahnya di halaman depan,
"Dengan segala kejahatan yang telah kamu lakukan selama hidupmu, tetapi
kamu tahu memberikan yang terbaik kepada anakmu, sungguh para Buddha dan
Bodhisattva akan terguncang dengan perbuatanmu." Tanpa disengaja,
tiba-tiba dari sampul kitab tersebut terjatuh sebuah kunci mobil BMW dan
kwitansi pembelian mobil yang tanggalnya persis satu bulan sebelum hari wisuda
Hsiau-fei.
Hsiau-fei terpaku tanpa bisa bersuara, berbagai perasaan menghinggapinya.
Dengan sisa tenaga yang ada, Hsiau-fei segera berlari ke garasi dan menemukan
sebuah mobil BMW yang telah berlapiskan debu tetapi masih jelas bahwa mobil
tersebut belum pernah disentuh sama sekali karena jok mobilnya masih terbungkus
plastik. Di depan kemudi terpampang foto ayahnya yang tersenyum bangga.
Tiba-tiba lemaslah seluruh tubuhnya, dan airmatanya tanpa terasa mengalir terus
tanpa dapat ditahannya,......... suatu penyesalan yang mendalam atas
ketidaksabarannya sendiri........, suatu penyesalan yang tak mungkin
berakhir........
4. Virya Paramita
Virya
Paramita merupakan perbuatan
luhur mengenai keuletan, ketabahan dan semangat. Terdapat dua macam Virya, yaitu :
Sannaha-virya, yang dapat diartikan memakai perisai dalam arti mempersiapkan diri atau
memperkuat iman terhadap berbagai godaan.
Prayoga-virya, yang dapat diartikan dengan ketekunan dan kesungguhan dalam pelaksanaan
Ajaran Sang Buddha .
5. Dhyana Paramita
Dhyana
Paramita merupakan perbuatan
luhur mengenai samadhi. Terdapat 4 jenis Dhyana
sebagaimana dinyatakan dalam ajaran Yogacara,
Lankavatara Sutra, yaitu :
Balopacarika Dhyana, dhyana yang
dilakukan oleh Sravaka dan Pratyekabuddha dengan merenungkan
tentang ketidak-kekalan dari sifat ke-aku-an.
Artapravicaya Dhyana, dyana yang
dilaksanakan oleh para Bodhisattva
yang telah mengerti hakekat Keberadaan dari alam semesta.
Tathatalambana Dhyana; dhyana yang
terdiri dari pengkajian atas Keberadaan dari Kebenaran serta merenungkannya.
Tathagata Dhyana; dhyana yang
dilaksanakan oleh para Tathagata yang
telah mengetahui Pengetahuan yang Tertinggi dan selalu bersedia untuk mengabdi
kepada semua makhluk.
6. Prajna Paramita
Prajna
Paramita merupakan Paramita yang
terpenting; yaitu perbuatan luhur mengenai Kebijaksanaan. Terdapat dua makna
dalam Prajna, yaitu :
(1) Prajna yang
kekal.
(2) Prajna yang
berfungsi sejalan dengan ke lima Paramita lainnya.
Usaha pengembangan prajna
ini terdapat tiga jalur yang mengarah kepada suatu pendalaman (intuisi) dan pengetahuan, yaitu :
berdasarkan
ajaran orang lain atau kitab suci tertulis ataupun lisan [sutamaya panna],
berdasarkan
pemikiran yang mendalam [cintamaya panna],
dan
berdasarkan
meditasi pengolahan dan realisasi [bhavanamaya
panna]
Selain Enam Paramita tersebut di atas, terdapat juga
Empat Paramita tambahan, yaitu :
1.
Upaya-Kausalya Paramita ;
merupakan kemahiran dalam perbuatan atau adaptasi dari usaha usaha untuk
perubahan guna
memberikan pertolongan secara luhur
2. Pranidhana
Paramita; aspirasi atau resolusi luhur
3. Bala Paramita;
kekuatan atau kemampuan luhur
4.
Jnana Paramita; pengetahuan luhur
Sedangkan dalam Buddhisme Theravada dikembangkan tindakan
Bodhisattva dalam Sepuluh Kebajikan Luhur atau Sepuluh Parami, dengan urutan sebagai berikut :
1. Kemurahan hati [Dana]
2. Kesusilaan [Sila]
3. Penglepasan Keduniawian [Nekkhamma]
4. Kebijaksanaan [Panna]
5. Kegiatan [Viriya]
6. Kesabaran [Khanti]
7. Kejujuran [Sacca
]
8. Keputusan [Adhitthana]
9. Cinta-Kasih [Metta]
10.Keseimbangan [Upekkha]
Sang
Buddha bersabda :" Hendaklah ia
menjaga ucapan dan mengendalikan pikiran dengan baik serta tidak melakukan
perbuatan jahat melalui jasmani. Hendaklah ia memurnikan tiga saluran perbuatan
ini, memenangkan ` Jalan ' yang telah dibabarkan oleh Para Suci. "
(Dhammapada, 281).
Post a Comment