Jalan Tengah
Pangeran Siddharta mengalami hidup bergelimang dalam kesenangan di kerajaan
ayahndaNya. Setelah dia menolak kehidupan duniawi dan hidup sebagai seorang
pertapa di hutan, Beliau menjalankan latihan pertapaan menyiksa pikiran dan
badan. Hingga akhirnya pada saat sebelum Beliau memperoleh Pencerahan, disadari
bahwa cara pertapaan menyiksa diri tersebut adalah sia-sia belaka. Beliau menyadari,
bahwa jalan menuju kebahagiaan dan Pencerahan hanyalah dengan menghindari
latihan penyiksaan diri tersebut yang kemudian diuraikan sebagai Jalan Tengah.
Tiga bentuk kehidupan yang dialami oleh Sang Buddha tersebut dapat
diumpamakan seperti senar pada kecapi. Senar yang terlalu longgar (dapat
diumpamakan hidup yang telalu manja) menghasilkan suara kecapi yang sumbang dan
lemah. Apabila senar yang terlalu kencang (dapat diumpamakan hidup menyiksa
diri) juga akan menghasilkan suara yang terlalu melengking, lagipula senarnya
akan cepat putus. Hanyalah senar yang sedang, dimana tidak terlalu longgar dan
tidak terlalu kencang (dapat diumpamakan Jalan Tengah) yang akan menghasilkan
suara yang indah dan harmonis.
Oleh sebab itu bagi siapapun yang mengikuti Jalan Tengah dengan menghindari
jalan pemanjaan diri terhadap nafsu keinginan maupun jalan penyiksaan diri yang
berlebihan, dialah yang akan menemukan kebahagiaan, pikiran yang damai dan
Pencerahan. Inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia Keempat; yaitu Jalan menuju
pelenyapan penderitaan.
Terdapat berbagai Jalan yang diajarkan oleh Sang Buddha dalam menuju
pelenyapan penderitaan tersebut yang pada dasarnya merupakan penjabaran lebih
lanjut dari Delapan Ruas Jalan Kemuliaan seperti Empat Kondisi Pikiran Sang
Buddha Yang Tidak Terbatas, Empat Prasetya, Tri-Laksana, Lima Sila, Sepuluh
Perbuatan Bermanfaat, Tujuh Ciri-ciri Bodhi, Tiga Puluh Tujuh Keadaan Menuju
Bodhi atau Kebuddhaan, dan Enam Paramitta.
Sang Buddha Bersabda: "
Engkau sendirilah yang harus berusaha, para Tathagata hanya menunjukkan
`Jalan'. Mereka yang tekun bersemadi dan memasuki `Jalan' ini akan terbebas
dari belenggu Mara." (Dhammapada, 276).
Demikianlah kita harus berusaha untuk mencapai Kebebasan diri kita sendiri
tanpa harus tergantung kepada bentuk-bentuk luar. Para Tathagata hanya menunjukkan Jalan dan kitalah yang harus menuju
arah yang ditunjuk itu, bukan terpaku pada 'telunjuk' Tathagata. Telunjuk dapat merupakan sarana, namun tidak merupakan
pemujaan. Sang Buddha mengatakan bahwa Dharma yang sesungguhnya tidak dapat diungkapkan dengan
kata-kata, dan hanya sesama Yang Tercerahkan yang dapat mengetahuinya.
Kitab Panduan
Pada suatu masa kehidupan
dahulu terdapat seorang guru yang kemana-mana selalu memberitakan kebenaran
hidup. Semua hal yang telah diberitakan diminta untuk dicatat oleh
murid-muridnya. Sehingga kemana-mana kitab kebenaran yang telah dicatat ini
selalu menjadi bahan rujukan dalam melakukan segala perbuatan.
Sampai suatu saat, guru dan
rombongan muridnya berjalan melintasi jembatan yang di bawahnya melintas arus
sungai yang deras. Karena tidak hati-hati, guru tersebut terpeleset dan jatuh
ke bawah. Guru tersebut berteriak dengan nyaring meminta pertolongan muridnya,
beberapa murid yunior berusaha turun untuk menolong gurunya, namun terdapat
beberapa murid senior yang ingat akan wejangan gurunya agar segala perbuatan
haruslah merujuk kepada `kitab suci kebenaran' yang telah tercatat, sehingga
seorang murid senior sambil membolak-balik `kitab suci' tersebut berteriak
kepada gurunya yang sudah hampir tenggelam terbawa arus sungai,
"Guru...guru.....sabar.., harap jangan tenggelam dulu, biar saya
mencarikan bab pertolongan terhadap guru yang sedang tenggelam di sungai yang
deras!"
Post a Comment