Gy3ZRPV8SYZ53gDjSFGpi7ej1KCaPY791pMbjB9m
Bookmark
Kalimat apa saja yang anda kehendaki (ketika tersorot oleh kursor)

Zen Story Diri Sejati Aku Tidak Tahu

Hei teman! Pernahkah anda berpikir mengenai siapa diri anda ini? Ataukah mempertanyakan kenapa aku bisa berada di sini, sekarang ini? Untuk menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita kutip sebuah kisah Zen yang usianya ratusan kali lebih tua dari kita yang mungkin akan memberikan sedikit gambaran mengenai apa itu “Diri sejati”.
Kaisar benar-benar masuk ke dalam Buddhisme. Dia membaca segala yang bisa dia dapatkan, dia berbicara dengan para filsuf dan biarawan tentang Buddhisme, dia bahkan mencoba untuk menulis berbagai ceramahnya sendiri dan Haiku. Suatu hari dia mendengar bahwa seorang guru Zen terkenal sedang mengunjungi kota besar itu. Maka, secara alami sebagai Kaisar, dia meminta agar sang Guru datang untuk mengunjungi dia di Istana. Dia menghidangkan kepada Guru makanan yang lezat dan setelah itu melakukan upacara teh yang elok. Sepanjang waktu, sang Guru hanya bersikap tenang dan diam, seperti Anda mungkin harapkan dari guru Zen – tetapi Kaisar mempunyai lidah yang tajam. Dia ingin memungut isi otak orang ini tentang Zen. Jadi akhirnya, ketika minum teh,dia memecahkan kesunyian itu. “Guru, menurut Zen, apa Diri itu?”
Guru itu dengan singkat mendongakkan wajah kemudian berkata, “Aku tidak tahu,” Dengan tenang di melanjutkan hisapan tehnya.
Mungkin penulis hanya pengelana ilmu yang masih amatir dan ingin mencoba menjelajahi samudera tanya yang membentang di depan. Tapi setidaknya penulis telah mencoba. Mencoba untuk mengail pengetahuan dengan joran sederhana  bak seorang nelayan muda dengan perahu kecilnya. Bukankah begitu teman?
Maka untuk mengawali diskusi pendek ini, penulis ingin anda sebagai seorang teman dan pembaca yang baik mencoba sebuah meditasi sederhana. Silakan anda duduk dengan tegap dan nyaman di kursi atau di lantai lalu tutuplah mata anda. Gunakan cara yang anda ketahui atau yang paling anda sukai untuk membersihkan pikiran anda. Tapi awas! Jangan sampai melamun.
Sekarang buatlah kesadaran anda bersantai... biarkan sensasi atau gambaran merambah kesadaran anda... sensasi atau gambaran apapun. Lalu sadari dengan benar sensasi atau gambaran itu ketika anda mendengar kata “Diri”.
Sekarang bukalah mata anda, dan cobalah untuk bertahan pada pengalaman itu. Sekalipun apa yang anda lihat atau anda rasakan tampak samar, atau bahkan anda tidak melihat apapun, itu tidak apa-apa, santai saja teman! Mungkin saja ada sesuatu yang penting di balik kekosongan itu. Sekarang gunakanlah pengalaman anda itu untuk memahami “Diri”.
Sebuah kisah Zen yang lain mungkin akan menambah gambaran kepada anda mengenai konsep Diri.
Suatu hari terjadi gempa bumi yang mengguncang seluruh kuil Zen. Beberapa bagian bahkan telah roboh. Banyak dari biarawan merasa ketakutan. Ketika gempa bumi berhenti, guru berkata,”Sekarang kalian telah mempunyai kesempatan untuk melihat bagaimana seorang Zen bertindak dalam situasi krisis. Kalian mungkin melihat bahwa aku tidak panik. Aku sungguh sadar akan apa yang terjadi dan tahu harus berbuat apa. Aku membimbing kalian semua ke dapur, bagian yang paling kuat dari kuil ini. Ini adalah keputusan yang baik, sebab kalian lihat semua telah selamat tanpa luka. Akan tetapi, selain ketenangan dan pengendalian-diri, aku merasa sedikit tegang – yang mungkin kalian simpulkan dari fakta bahwa aku telah minum air dari sebuah gelas besar, sesuatu yang tidak pernah aku lakukan dalam kondisi biasa.”
Salah satu dari biarawan itu tersenyum, tetapi tidak berkata apa pun.
“Apa yang kamu tertawakan?” Tanya guru.
“Itu bukan air,” Jawab biarawan, “Tapi air ampas tahu.”
Teman... dari kisah di atas pastilah dapat kita peroleh gambaran mengenai hubungan antara kesadaran dengan Diri. Diri sebagai kesadaran merupakan sebuah proses mengamati atau keterjagaan alam sadar kita terhadap diri dan lingkungannya. Kita dapat menjadi sadar dan mempunyai kemampuan refleksi-diri terhadap Diri kita. Kesadaran diri adalah sesuatu yang baik, akan tetapi kita dapat membawanya terlalu jauh ke arah yang salah. Ini seperti menatap bayangan Anda di atas air terlalu lama. Anda akan kehilangan perspektif, seperti halnya guru dalam kisah di atas yang merasa dirinya 'sadar' padahal sebenarnya tidak dalam 'kesadaran penuh'. Akibatnya si guru itu meminum air ampas tahu yang dikiranya air putih biasa.
Pelajaran dari si guru itu menjadi hikmah bagi kita bahwa ada saat di mana kita merasa sadar tetapi sebenarnya kita tidak dalam keadaan sadar sepenuhnya. Mungkin anda pernah mengalami kejadian yang sering penulis alami dalam kehidupan sehari-hari. Ini sebagai salah satu contoh kecil. Saat anda pulang kuliah, seperti biasa, anda langsung pulang ke kosan, membuka pintu, membuka sepatu – bagi yang punya sepatu, kemudian menyimpan tas dan sebagainya, lalu berbaring di atas kasur – lagi-lagi ini bagi yang punya kasur. 
Hal ini mungkin anda lakukan tanpa anda sadari. Bahkan saat anda berbaring, anda tidak sadar bahwa saat pulang dari kampus dan sedang dalam perjalanan anda berkenalan dengan seorang laki-laki, dan anda tidak sadar pula bahwa anda telah kehilangan dompet.
Barulah pada saat akan berbelanja dan mencari dompet, anda akan menyadari bahwa dompet anda telah hilang. Kemudian, anda berusaha keras untuk mengingat kembali kejadian pada saat pulang kuliah. Hal yang pasti pertamakali diingat adalah saat berkenalan dengan laki-laki itu. Lalu serta merta mengklaim bahwa dialah yang mencuri dompet anda. Tanpa bukti-bukti yang kuat, tak mungkin anda lansung menuduh dia sebagai pencuri dompet. Sehingga, mau tak mau anda terpaksa berdiam diri merenungi kelalaian anda. Namun ketika anda membuka lemari untuk berganti pakaian, secara tiba-tiba anda menemukan dompet anda tergeletak di atas tumpukkan baju. Sudah menjadi kebiasaan bagi diri anda bahwa setelah pulang kuliah anda selalu menyimpan dompet di lemari, dan pada saat kejadian itu diri anda dalam keadaan tidak sadar sepenuhnya. Betapa malunya anda jika  waktu itu anda sadar bahwa anda telah membuat kesalahan karena telah berprasangka buruk kepada orang lain.
Zen Story Diri Sejati Aku Tidak Tahu
Pada umumnya apa yang kita lakukan hari ini tidak jauh berbeda dengan apa yang kita lakukan kemarin, dan bahkan mungkin tidak jauh berbeda dengan apa yang kita lakukan keesokkan harinya. Apa yang menjadi kebiasaan itu membuat kita bertindak secara refleks karena kita telah hapal apa yang kita lakukan. Hal inilah yang membuat kita tidak sadar dengan apa yang kita lakukan. Kesadaran penuh kita menjadi kesadaran yang setengah-setengah. Tindakan yang menjadi kebiasaan itu akibat dari ingatan yang ada di kepala kita. Ingatan menjadikan manusia bertindak menjadi kebiasaan.  Kebiasaan ini menurut Zen disebut karma. Agar memperoleh karma yang baik, maka kita harus melepas ingatan dari kepala kita (pikiran).  Dan ini dapat kita lakukan dengan bermeditasi, atau dalam Islam dengan melakukan shalat; karena meditasi atau shalat dapat meningkatkan tingkat kesadaran kita. Itu juga kalau meditasi atau shalatnya dilakukan dengan benar, dan tidak asal-asalan.
Dari uraian singkat di atas dapatlah kita ketahui mengenai konsep Diri. Secara sederhananya kesimpulan dari uraian di atas yaitu; Diri anda adalah kesadaran anda. Pada saat anda tidak sadar maka itu bukan diri anda. Cukup sederhana bukan! Dan perlu diingat, itu hanyalah sekedar konsep saja, bukan sebuah jawaban akhir. Sekarang kita kembali pada cerita awal uraian ini, kita tengok sang Kaisar dengan sang guru Zen.

“Guru, menurut Zen, apa Diri Sejati itu?”
Guru itu dengan singkat mendongakkan wajah kemudian berkata,


“Aku tidak tahu.”


Post a Comment

Post a Comment