Siwa secara harfiah berarti "keberuntungan, kesejahteraan". Dia adalah dewa ketiga dari Triad Hindu dan dia adalah dewa kehancuran. Dia mewakili kegelapan, dan dikatakan sebagai "dewa yang marah". Seringkali Dewa Siwa menghancurkan kehadiran negatif seperti kejahatan, ketidaktahuan, dan kematian.
Namun demikian, Siwa juga dikaitkan dengan penciptaan. Dalam agama Hindu, alam semesta dianggap beregenerasi dalam siklus (setiap 2.160.000.000 tahun). Siwa menghancurkan alam semesta pada akhir setiap siklus yang memungkinkan penciptaan baru. Shiva juga adalah petapa besar, tidak melakukan segala kesenangan dan kesenangan, lebih berkonsentrasi pada meditasi sebagai sarana untuk menemukan kebahagiaan sempurna.
Dalam agama Hindu yang populer, Dewa Siwa dianggap satu dari tiga aspek tertinggi Brahman, atau salah satu Trimurthis, dan diidentifikasi dengan fungsi penghancuran universal. Tempat tinggalnya adalah Kailas dan permaisuri Parvathi.
Ganesha dan Kartikeya adalah anak-anaknya yang ilahi, yang juga menempati tempat penting di panteon Hindu. Kendaraan Siwa adalah Nandi, banteng ilahi. Saivism adalah sekte Hinduisme yang paling populer, di samping Vaishnavism. Shaivisme adalah tradisi massa. Ini menolak hak istimewa kasta yang datang dengan kelahiran dan hak eksklusif Brahmana dalam tradisi ritual Hindu.
Dewa Siwa , Dewa Brahma , Dewa Wisnu adalah Bagian dari maha pencipta yang memiliki tugas masing-masing dan berbeda-beda , mereka di sebut tri murti . Dalam kitab Mahābhārata, Dewa Siwa lebih sering disebut sebagai Mahādewa, yaitu Dewa tertinggi di antara para dewa. Kitab itu juga menjelaskan asal mula dewa Siwa sebutannya.
Pada suatu waktu, para dewa menyuruh Siwa membinasakan makhluk-makhluk jahat yang tinggal di Tripura. Untuk meramalkan makhluk-makhluk itu, Dewa Siwa diberi kekuatan dari masing-masing dewa, dan setelah dapat memusnahkan makhluk-makhluk itu, Dewa Siwa dianggap sebagai dewa tertinggi.
Sementara itu, sebutan Maheswara ada dalam kitab Mahabharata sloka 222a. Sebutan lain untuk Siwa adalah Trinetra, yang berarti bermata tiga. Sebutan ini didapat Dewa Siwa saat dari keningnya "muncul" mata ketiga untuk "kembali" keadaan seperti keadaan semula, yang "terganggu" karena kedua disentuh oleh kedua tangan Parwati, yang saat itu asyik bercengkerama dengan Siwa. Untuk mengembalikan keadaan darurat di dunia, Siwa menciptakan mata ketiga pada keningnya.
Cerita tentang mata ketiga dari dewa Siwa dapat di temukan dalam berbagai versi. Diceritakanlah Siwa sedang asyik bercengkerama dengan sakti-Nya yaitu Dewi Parwati sedang bermain tutup-tutupan mata, karena mata beliau ditutup oleh kedua telapak tangan dewi Parwati menyebabkan Siwa sulit melihat, karena terhalangnya penglihatan Siwa maka dunia menjadi goncang. Maka, dari kening beliau muncul mata ketiga untuk mengembalikan keadaan dunia seperti keadaan semula, yang terganggu karena kedua matanya tertutup oleh kedua tangan Parwati.
Uraian tentang dewa Siwa yang memiliki 3 mata (Trinetra) juga dijumpai dalam kitab Mahabharata. Kitab Linga Purana menawarkan cerita yang berbeda tentang timbulnya mata ketiga Siwa. Dikisahkan adalah Sati, anak Daksa istri pertama Siwa yang bunuh diri dengan cara terjun ke dalam api karena ayahnya (Daksa) tidak menghiraukan suaminya (Siwa). Karena peristiwa itu, Siwa pergi bertapa di atas Gunung Himalaya. Parvati, anak Himawan yang jatuh cinta kepada Siwa sebenarnya adalah Sati “yang lahir kembali”.
Sementara itu, makhluk jahat Asura (raksasa) Tataka mulai mengganggu para dewa. Menurut ramalan, yang dapat membinasakan makhluk jahat itu hanyalah anak Siwa Dalam kebingungan, para dewa memutuskan untuk “membangunkan” Siwa Mereka sepakat meminta pertolongan Dewa Kama. Dengan upayanya, berangkatlah para dewa disertai Parwati ke tempat Siwa bertapa.
Karena keampuhan panah Dewa Kama, Siwa “terbangun”. Siwa yang sedikit terusik oleh perbuatan Kama membuka mata ketiganya yang menyemburkan api. Api itu membakar Kama hingga menjadi abu. Pada saat yang bersamaan karena keampuhan panah Kama, Siwa jatuh cinta pada dewi Parwati.
Siwa memiliki empat lengan dan tiga mata. Mata ketiga, di tengah keningnya, selalu tertutup dan hanya terbuka untuk memusnahkan pelaku kejahatan. Sebuah karangan bunga tengkorak, manik-manik rudraksha, atau ular menggantung dari lehernya. Siwa juga memakai ular sebagai armlets dan gelang.
Kitab Suprabhedagama menguraikan mengapa Siwa mengenakan pakaian kulit harimau, hiasan berupa ular, kijang, dan parasu, serta memakai hiasan bulan sabit, dan tengkorak pada mahkotanya. Pada suatu waktu, Siwa pergi ke hutan dengan menyamar sebagai pengemis. Istri para pendeta yang kebetulan melihatnya jatuh cinta, sehingga para pendeta marah.
Dengan kekuatan magisnya mereka menciptakan seekor harimau yang diperintahkan untuk menyerang Siwa, tapi dapat dibinasakan dan kulitnya dipakai Siwa sebagai pakaiannya. Melihat Siwa bisa mengalahkan harimau ciptaannya, mereka makin marah dan menciptakan seekor ular.
Ular itu dapat ditangkap Siwa dan dibuat perhiasan. Setelah kedua usaha itu gagal, mereka menciptakan kijang dan parasu, tapi kali inipun siwa dapat melumpuhkan serangan para pendeta itu. Sejak kejadian itu, kijang dan parasu menjadi dua di antara laksana (atribut) Siwa.
Dia memakai kulit macan atau macan tutul di sekitar pinggangnya, dan bagian atas tubuhnya biasanya telanjang, tapi diolesi abu, seperti layaknya seorang pertapa. Mata ketiganya diyakini telah muncul saat Parvati (Parvati, dewi kekuasaan, adalah pemuja kosmis Shiva), dalam suasana hati yang menyenangkan, menutupi matanya dengan kedua tangannya.
Menurut Shiva Purana, Dewa Siwa dikatakan memiliki lima wajah, sesuai dengan lima tugasnya, yaitu panchakriya: penciptaan, pendirian, kehancuran, pelupaan, dan anugerah. Kelima wajahnya dikaitkan dengan penciptaan suku kata suci "Om".
Di dalam kitab Purana kita mendapat informasi tentang hiasan yang di gunakan oleh Deva Siwa. Istri para rsi terpikat kepada Siwa, yang sekali waktu tampil dengan mengenakan pakaian seperti peminta-minta. Para resi sangat marah terhadap Siwa atas penampilannya itu dan ingin membunuhnya. Dari lobang yang di gali, muncul seekor harimau. Siwa membunuh harimau itu dan mengambil kulitnya.
Seekor menjangan mengikuti harimau dan juga muncul dari lubang yang sama. Siwa memegang binatang itu dengan tangan kirinya. Selanjutnya muncul dari lubang itu tongkat besi panas berwarna merah. Siwa mengambil tongkat itu dan menjadikan senjatanya. Terahir dari lubang muncul beberapa ular kobra dan Siwa mengambil ular dan mengenakan sebagai hiasan.
Suatu hari raksasa bernama Gaya menyamar dalam wujud seekor gajah dan menangkap seorang pandita yang melarikan diri dan memohon perlindungan di sebuah pura Siwa. Siwa muncul dan membunuh gajah tersebut, kemudian mengambil kulitnya dikenakan di badannya. Suatu hari Siwa mengenakan beberapa ekor ular sebagai anting-antingnya, oleh karena itu ia di kenal dengan nama Nagakundala. Siwa dilambangkan oleh ular di sekitar lehernya. Ular yang terbelit di lehernya melambangkan kekuatan penghancurnya.
Dalam purana yang lain dikatakan juga bahwa ular tersebut berfungsi untuk mencegah racun yang diminum saat para dewa dan asura memperebutkan tirtha amertha masuk kedalam tubuh dewa Siwa. Tasbih melambangkan sifatnya yang anadi ananta yakni tidak berawal dan tidak berakhir.
Siwa menghancurkan segalanya dengan mebawa Trisula. Trisula senjata yang utama Siwa, Dalam berbagai gambar Siwa digambarkan memegang Trisula di tangan belakang. Siwa Purana IV.20 menyebutkan,
Selain trisula ada pula senjata lain disebutpinaka, oleh karena itu Siwa disebut dengan nama Pinakapani (Siwa yang memegang pinaka di tangannya). Siwa digambarkan memiliki 2,2,8, dan 10 tangan. Disamping membawa Pinaka, Siwa juga memegang tongkat yang dinamakan khatyanga, busur (Ajagava), seekor menjangan, genitri, tengkorak, damaru (gendang kecil), dan benda-benda suci lainnya.
Kitab Kamikagama mengungkapkan mengapa dalam pengarcaannya, Çiwa mengenakan hiasan bulan sabit pada jatāmakutanya (mahkota). Datohan, salah seorang putra Brahmā, menikahkan keduapuluh tujuh (=konstelasi bintang) anak perempuannya pada Santiran, Dewa Bulan. Dia minta agar menantunya memperlakukan semua istrinya sama dan mencintainya tanpa membeda-bedakan.
Selama beberapa waktu, Santiran hidup bahagia bersama istri-istrinya, tanpa membeda-bedakan mereka. Dua di antara seluruh istrinya, Kartikai dan Rogini adalah yang tercantik. Lama-kelamaan, tanpa disadarinya, Santiran lebih memperhatikan keduanya dan mengabaikan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak diperhatikan, mereka mengadu pada ayah mereka. Datohan mencoba menasihati menantunya agar mengubah sikap, tapi tidak berhasil.
Setelah berulangkali Santiran diingatkan dan tidak mengindahkan, Datohan menjadi marah dan mengutuh menantunya; keenam belas bagian tubuhnya akan hilang satu per satu sampai akhirnya dia akan hilang, mati. Ketika bagian tubuhnya tinggal seperenam belas bagian, Santiran menjadi panik dan pergi minta tolong dan perlindungan Intiran. Intiran tidak dapat menolong.
Dalam keadaan putus asa, dia menghadap dewa Brahmā yang menasihatinya agar pergi menghadap dewa siwa. Santiran langsung menuju Gunung Kailas dan mengadakan pemujaan untuk dewa Siwa. Siwa yang berbelas kasihan kemudian mengambil bagian tubuh Santiran itu dan diletakkan di dalam rambutnya sambil berkata, “Jangan khawatir, Anda akan mendapatkan kembali bagian-bagian tubuh Anda.
Namun, itu akan kembali hilang satu per satu. Perubahan itu akan berlangsung terus.” Demikianlah dalam pengarcaannya rambut DEWA siwa dihiasi bagian tubuh Santiran yang berbentuk bulan sabit di samping tengkorak (ardhacanrakapala). Selain mata ketiga dan hiasan candrakapala, Dewa Siwa juga dikenal mempunyai kendaraan banteng atau sapi jantan.
Siwa terkadang digambarkan sebagai setengah pria, setengah wanita. Sosoknya terbelah setengah jalan ke bawah tubuh, setengah menunjukkan tubuhnya dan separuh kedua dari tubuh Parvati. Sementara dewa-dewa lain digambarkan dalam lingkungan yang mewah, Shiva mengenakan kulit binatang yang sederhana dan dalam pengaturan yang keras, biasanya dalam posisi yoga.
Parvati, kapan pun dia hadir, selalu berada di sisi Siwa. Meskipun Siwa adalah perusak, ia biasanya digambarkan tersenyum dan tenang.
Menurut sebuah cerita di dalam Purana, Brahma tidak berhasil menciptakannya. Dia mendahului Siwa yang mengambil bentuk ini dan memisahkan Parvati dari tubuhnya. Parvati memiliki banyak inkarnasi, seperti Kali, Durga, dan Uma.
Anak-anak mereka adalah Kartikeya dan dewa Ganesha. Dewa Siwa diyakini memiliki sejumlah besar pembantu, yang disebut ganas. Makhluk mitologis ini memiliki tubuh manusia dengan kepala hewan. Anak laki-laki Siwa Ganesha adalah pemimpin para ganas.
Di seluruh negara Hindu, ada ratusan kuil dan kuil yang didedikasikan untuk Siwa. Dia biasanya disembah dalam bentuk shivalinga. Dia disembah dengan menawarkan bunga, susu, dan pasta cendana.
Di bumi, Dewa Siwa juga populer disembah dalam bentuk Lingga - yang tersebar di seluruh pelosok negara kita dalam bentuk jyotirlingas. Lingga melambangkan maskulinitas dan peran Dewa Siwa yang dipersonifikasikan dalam penciptaan, rezeki, dan penghancuran Alam Semesta.
Namun demikian, Siwa juga dikaitkan dengan penciptaan. Dalam agama Hindu, alam semesta dianggap beregenerasi dalam siklus (setiap 2.160.000.000 tahun). Siwa menghancurkan alam semesta pada akhir setiap siklus yang memungkinkan penciptaan baru. Shiva juga adalah petapa besar, tidak melakukan segala kesenangan dan kesenangan, lebih berkonsentrasi pada meditasi sebagai sarana untuk menemukan kebahagiaan sempurna.
Dalam agama Hindu yang populer, Dewa Siwa dianggap satu dari tiga aspek tertinggi Brahman, atau salah satu Trimurthis, dan diidentifikasi dengan fungsi penghancuran universal. Tempat tinggalnya adalah Kailas dan permaisuri Parvathi.
Ganesha dan Kartikeya adalah anak-anaknya yang ilahi, yang juga menempati tempat penting di panteon Hindu. Kendaraan Siwa adalah Nandi, banteng ilahi. Saivism adalah sekte Hinduisme yang paling populer, di samping Vaishnavism. Shaivisme adalah tradisi massa. Ini menolak hak istimewa kasta yang datang dengan kelahiran dan hak eksklusif Brahmana dalam tradisi ritual Hindu.
Dewa Siwa , Dewa Brahma , Dewa Wisnu adalah Bagian dari maha pencipta yang memiliki tugas masing-masing dan berbeda-beda , mereka di sebut tri murti . Dalam kitab Mahābhārata, Dewa Siwa lebih sering disebut sebagai Mahādewa, yaitu Dewa tertinggi di antara para dewa. Kitab itu juga menjelaskan asal mula dewa Siwa sebutannya.
Pada suatu waktu, para dewa menyuruh Siwa membinasakan makhluk-makhluk jahat yang tinggal di Tripura. Untuk meramalkan makhluk-makhluk itu, Dewa Siwa diberi kekuatan dari masing-masing dewa, dan setelah dapat memusnahkan makhluk-makhluk itu, Dewa Siwa dianggap sebagai dewa tertinggi.
Sementara itu, sebutan Maheswara ada dalam kitab Mahabharata sloka 222a. Sebutan lain untuk Siwa adalah Trinetra, yang berarti bermata tiga. Sebutan ini didapat Dewa Siwa saat dari keningnya "muncul" mata ketiga untuk "kembali" keadaan seperti keadaan semula, yang "terganggu" karena kedua disentuh oleh kedua tangan Parwati, yang saat itu asyik bercengkerama dengan Siwa. Untuk mengembalikan keadaan darurat di dunia, Siwa menciptakan mata ketiga pada keningnya.
Cerita tentang mata ketiga dari dewa Siwa dapat di temukan dalam berbagai versi. Diceritakanlah Siwa sedang asyik bercengkerama dengan sakti-Nya yaitu Dewi Parwati sedang bermain tutup-tutupan mata, karena mata beliau ditutup oleh kedua telapak tangan dewi Parwati menyebabkan Siwa sulit melihat, karena terhalangnya penglihatan Siwa maka dunia menjadi goncang. Maka, dari kening beliau muncul mata ketiga untuk mengembalikan keadaan dunia seperti keadaan semula, yang terganggu karena kedua matanya tertutup oleh kedua tangan Parwati.
Uraian tentang dewa Siwa yang memiliki 3 mata (Trinetra) juga dijumpai dalam kitab Mahabharata. Kitab Linga Purana menawarkan cerita yang berbeda tentang timbulnya mata ketiga Siwa. Dikisahkan adalah Sati, anak Daksa istri pertama Siwa yang bunuh diri dengan cara terjun ke dalam api karena ayahnya (Daksa) tidak menghiraukan suaminya (Siwa). Karena peristiwa itu, Siwa pergi bertapa di atas Gunung Himalaya. Parvati, anak Himawan yang jatuh cinta kepada Siwa sebenarnya adalah Sati “yang lahir kembali”.
Sementara itu, makhluk jahat Asura (raksasa) Tataka mulai mengganggu para dewa. Menurut ramalan, yang dapat membinasakan makhluk jahat itu hanyalah anak Siwa Dalam kebingungan, para dewa memutuskan untuk “membangunkan” Siwa Mereka sepakat meminta pertolongan Dewa Kama. Dengan upayanya, berangkatlah para dewa disertai Parwati ke tempat Siwa bertapa.
Karena keampuhan panah Dewa Kama, Siwa “terbangun”. Siwa yang sedikit terusik oleh perbuatan Kama membuka mata ketiganya yang menyemburkan api. Api itu membakar Kama hingga menjadi abu. Pada saat yang bersamaan karena keampuhan panah Kama, Siwa jatuh cinta pada dewi Parwati.
Asal Muasal Atribut Dewa Siwa
Siwa diyakini ada dalam berbagai bentuk. Penggambarannya yang paling umum adalah sebagai pertapa berkulit gelap dengan tenggorokan biru. Biasanya duduk bersila pada kulit harimau, rambut Siwa kusut dan melingkar di kepalanya, dihiasi dengan ular dan bulan sabit. Gangga selalu digambarkan mengalir keluar dari jambulnya.Siwa memiliki empat lengan dan tiga mata. Mata ketiga, di tengah keningnya, selalu tertutup dan hanya terbuka untuk memusnahkan pelaku kejahatan. Sebuah karangan bunga tengkorak, manik-manik rudraksha, atau ular menggantung dari lehernya. Siwa juga memakai ular sebagai armlets dan gelang.
Kitab Suprabhedagama menguraikan mengapa Siwa mengenakan pakaian kulit harimau, hiasan berupa ular, kijang, dan parasu, serta memakai hiasan bulan sabit, dan tengkorak pada mahkotanya. Pada suatu waktu, Siwa pergi ke hutan dengan menyamar sebagai pengemis. Istri para pendeta yang kebetulan melihatnya jatuh cinta, sehingga para pendeta marah.
Dengan kekuatan magisnya mereka menciptakan seekor harimau yang diperintahkan untuk menyerang Siwa, tapi dapat dibinasakan dan kulitnya dipakai Siwa sebagai pakaiannya. Melihat Siwa bisa mengalahkan harimau ciptaannya, mereka makin marah dan menciptakan seekor ular.
Ular itu dapat ditangkap Siwa dan dibuat perhiasan. Setelah kedua usaha itu gagal, mereka menciptakan kijang dan parasu, tapi kali inipun siwa dapat melumpuhkan serangan para pendeta itu. Sejak kejadian itu, kijang dan parasu menjadi dua di antara laksana (atribut) Siwa.
Dia memakai kulit macan atau macan tutul di sekitar pinggangnya, dan bagian atas tubuhnya biasanya telanjang, tapi diolesi abu, seperti layaknya seorang pertapa. Mata ketiganya diyakini telah muncul saat Parvati (Parvati, dewi kekuasaan, adalah pemuja kosmis Shiva), dalam suasana hati yang menyenangkan, menutupi matanya dengan kedua tangannya.
Menurut Shiva Purana, Dewa Siwa dikatakan memiliki lima wajah, sesuai dengan lima tugasnya, yaitu panchakriya: penciptaan, pendirian, kehancuran, pelupaan, dan anugerah. Kelima wajahnya dikaitkan dengan penciptaan suku kata suci "Om".
Di dalam kitab Purana kita mendapat informasi tentang hiasan yang di gunakan oleh Deva Siwa. Istri para rsi terpikat kepada Siwa, yang sekali waktu tampil dengan mengenakan pakaian seperti peminta-minta. Para resi sangat marah terhadap Siwa atas penampilannya itu dan ingin membunuhnya. Dari lobang yang di gali, muncul seekor harimau. Siwa membunuh harimau itu dan mengambil kulitnya.
Seekor menjangan mengikuti harimau dan juga muncul dari lubang yang sama. Siwa memegang binatang itu dengan tangan kirinya. Selanjutnya muncul dari lubang itu tongkat besi panas berwarna merah. Siwa mengambil tongkat itu dan menjadikan senjatanya. Terahir dari lubang muncul beberapa ular kobra dan Siwa mengambil ular dan mengenakan sebagai hiasan.
Suatu hari raksasa bernama Gaya menyamar dalam wujud seekor gajah dan menangkap seorang pandita yang melarikan diri dan memohon perlindungan di sebuah pura Siwa. Siwa muncul dan membunuh gajah tersebut, kemudian mengambil kulitnya dikenakan di badannya. Suatu hari Siwa mengenakan beberapa ekor ular sebagai anting-antingnya, oleh karena itu ia di kenal dengan nama Nagakundala. Siwa dilambangkan oleh ular di sekitar lehernya. Ular yang terbelit di lehernya melambangkan kekuatan penghancurnya.
Dalam purana yang lain dikatakan juga bahwa ular tersebut berfungsi untuk mencegah racun yang diminum saat para dewa dan asura memperebutkan tirtha amertha masuk kedalam tubuh dewa Siwa. Tasbih melambangkan sifatnya yang anadi ananta yakni tidak berawal dan tidak berakhir.
Siwa menghancurkan segalanya dengan mebawa Trisula. Trisula senjata yang utama Siwa, Dalam berbagai gambar Siwa digambarkan memegang Trisula di tangan belakang. Siwa Purana IV.20 menyebutkan,
Sebuah Trisula memiliki tiga ujung, yang menandakan tiga sifat alam : sattva (keaktifan), rajas (kegiatan), dan tamas (ketidakaktifan). Trisula melambangkan bahwa dewa jauh dari jangkauan ketiga sifat alam ini. Trisula juga melambangkan senjata yang digunakan Dewa untuk menghancurkan kejahatan dan ketidakpedulian di dunia. (Pandit, 2006 : 208).Dewa yang bersenjatakan Trisula ,Brahman yang agung, yaitu Siwa adalah asal mula penciptaan, pemeliharaan, dan penghancuran. pelenyapan, serta pemberkatan.Tanpa campur tangan beliau maka tidak seujung rambut pun benda atau makhluk bisa dihancurkan.
Selain trisula ada pula senjata lain disebutpinaka, oleh karena itu Siwa disebut dengan nama Pinakapani (Siwa yang memegang pinaka di tangannya). Siwa digambarkan memiliki 2,2,8, dan 10 tangan. Disamping membawa Pinaka, Siwa juga memegang tongkat yang dinamakan khatyanga, busur (Ajagava), seekor menjangan, genitri, tengkorak, damaru (gendang kecil), dan benda-benda suci lainnya.
Kitab Kamikagama mengungkapkan mengapa dalam pengarcaannya, Çiwa mengenakan hiasan bulan sabit pada jatāmakutanya (mahkota). Datohan, salah seorang putra Brahmā, menikahkan keduapuluh tujuh (=konstelasi bintang) anak perempuannya pada Santiran, Dewa Bulan. Dia minta agar menantunya memperlakukan semua istrinya sama dan mencintainya tanpa membeda-bedakan.
Selama beberapa waktu, Santiran hidup bahagia bersama istri-istrinya, tanpa membeda-bedakan mereka. Dua di antara seluruh istrinya, Kartikai dan Rogini adalah yang tercantik. Lama-kelamaan, tanpa disadarinya, Santiran lebih memperhatikan keduanya dan mengabaikan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak diperhatikan, mereka mengadu pada ayah mereka. Datohan mencoba menasihati menantunya agar mengubah sikap, tapi tidak berhasil.
Setelah berulangkali Santiran diingatkan dan tidak mengindahkan, Datohan menjadi marah dan mengutuh menantunya; keenam belas bagian tubuhnya akan hilang satu per satu sampai akhirnya dia akan hilang, mati. Ketika bagian tubuhnya tinggal seperenam belas bagian, Santiran menjadi panik dan pergi minta tolong dan perlindungan Intiran. Intiran tidak dapat menolong.
Dalam keadaan putus asa, dia menghadap dewa Brahmā yang menasihatinya agar pergi menghadap dewa siwa. Santiran langsung menuju Gunung Kailas dan mengadakan pemujaan untuk dewa Siwa. Siwa yang berbelas kasihan kemudian mengambil bagian tubuh Santiran itu dan diletakkan di dalam rambutnya sambil berkata, “Jangan khawatir, Anda akan mendapatkan kembali bagian-bagian tubuh Anda.
Namun, itu akan kembali hilang satu per satu. Perubahan itu akan berlangsung terus.” Demikianlah dalam pengarcaannya rambut DEWA siwa dihiasi bagian tubuh Santiran yang berbentuk bulan sabit di samping tengkorak (ardhacanrakapala). Selain mata ketiga dan hiasan candrakapala, Dewa Siwa juga dikenal mempunyai kendaraan banteng atau sapi jantan.
Siwa terkadang digambarkan sebagai setengah pria, setengah wanita. Sosoknya terbelah setengah jalan ke bawah tubuh, setengah menunjukkan tubuhnya dan separuh kedua dari tubuh Parvati. Sementara dewa-dewa lain digambarkan dalam lingkungan yang mewah, Shiva mengenakan kulit binatang yang sederhana dan dalam pengaturan yang keras, biasanya dalam posisi yoga.
Parvati, kapan pun dia hadir, selalu berada di sisi Siwa. Meskipun Siwa adalah perusak, ia biasanya digambarkan tersenyum dan tenang.
Dewa Siwa dan Gunung Kailash
Siwa dikatakan tinggal di Gunung Kailash, sebuah gunung di Himalaya. Kendaraannya adalah Nandi si banteng dan senjatanya, trishul. Pemuja Siwa adalah Parvati, yang juga dipercaya menjadi bagian dari Siwa. Salah satu bentuk Shiva yang paling populer adalah Ardhanarishvara.Menurut sebuah cerita di dalam Purana, Brahma tidak berhasil menciptakannya. Dia mendahului Siwa yang mengambil bentuk ini dan memisahkan Parvati dari tubuhnya. Parvati memiliki banyak inkarnasi, seperti Kali, Durga, dan Uma.
Anak-anak mereka adalah Kartikeya dan dewa Ganesha. Dewa Siwa diyakini memiliki sejumlah besar pembantu, yang disebut ganas. Makhluk mitologis ini memiliki tubuh manusia dengan kepala hewan. Anak laki-laki Siwa Ganesha adalah pemimpin para ganas.
Di seluruh negara Hindu, ada ratusan kuil dan kuil yang didedikasikan untuk Siwa. Dia biasanya disembah dalam bentuk shivalinga. Dia disembah dengan menawarkan bunga, susu, dan pasta cendana.
Di bumi, Dewa Siwa juga populer disembah dalam bentuk Lingga - yang tersebar di seluruh pelosok negara kita dalam bentuk jyotirlingas. Lingga melambangkan maskulinitas dan peran Dewa Siwa yang dipersonifikasikan dalam penciptaan, rezeki, dan penghancuran Alam Semesta.