Jika cemburu adalah suatu dosa, hukumlah saya.
Pada musyawarahbuku malam ini mendadak rasa cemburu ini membengkak. Mulanya hanya satu titikkecil, lalu menguasai seluruh pikiran. Engkau telah dicintai olehbegitu banyak orang yang lebih berarti daripada saya, dan mungkinkah kecemburuan ini adagunanya?
Musyawarah ini untukmu,untuk menjermahkan namamu. Saya sering berbisik sendiri, sangat pelan, karenamalu terdengar telingamu: “saya merindukanmu!”. Tapi apakah pantas? Terdorongrasa tak berharga ini, mataku hanya menatap halaman demi halaman buku-buku dan meratap di kedalaman malam, menyebutmu.
Izinkan saya, menyatakan kepadamu bahwa saya terlambat mengenalmu, atau lebih tepatnya lupa merindukanmu. Saya mendengar namamu dari lagu masa kanak-kanak, tentang kelahiranmu dan keindahanmu. Tapi itu takmembuatku dapat mengenalimu. Kuliah-kuliah juga pengajian-pengajian bahkan membuatku tertarik pada labirin argument, berputar-putar hanya untuk menyatakan “ya” atau “tidak”. Kau tersingkir di pinggiran wacana, aku bahkan pernah lupa padamu. Tidak, saya tidak mengenalmu dari kata-kata yang katanya dikatakan olehmu untukku –untuk kami. Saya bahkan melewati semua hikayat tentang hidupmu dan tentang kesukaan dan ketidaksukaanmu.
Saya mengenalmu dari suatu waktu, ketika saya jatuh cinta kepadamu.
Saatitulah saya memikirkanmu.
Saya memikirkanmu, seorang anak yatim, bermata lebar yang jernih yang bergembira mengahadapi hidup. Saya melihatmu di masa mudamu, yang pendiam dan pemalu,dalam kesunyianmu, merasakan kerinduan terhadap cerah. Kau arahkan pandanganmu ke banyak arah, “harus bagaimana ini?” Sampai kau bertemu satu kata yang merubahmu: bacalah!
Saya membayangkan kau terkejut. Kebenaran satu kata itu tak membuatmu menepuk dada. Badanmu justru yang tergetar. Kau tak hendak menolak, hanya memeriksa diri “Benarkah ini? Kenapa aku?” Lalu mulailah kau berbisik pada istrimu, keponakanmu, sahabat-sahabatmu, “muliakanlah tindakan, buat jadi indah!”
Sungguh Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan (zinah) baginyaagar Kami menguji siapakah di antara mereka “yangt erbaik” (ahsan) perbuatannya.
Dan sungguh Kamibenar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah yang rata lagi tandus. (Q.S. al-Kahf (18): 7-8)
Ayat ini, rinduku, menyebutkan dua kata yang mengandung arti indah. Ada kata zînah, yang berarti perhiasan, keindahan, atau dekorasi. Ada kata ahsan, yang berarti paling baik, paling bagus, menyenangkan, beradab, anggun, dan menarik. Kedua kata ini menyudutkanku pada inti dari semua musyawarah malam ini: Segala yang diciptakan Allah itu indah, karena keindahan merupakan sifat-Nya. Maka, seperti pada ayat ini, jadilah manusia yang memperindah atau menambah kemegahan penciptaan atau janganlah mengurangi keindahan dan merusaknya. Tetapi sampah dimana-mana, entah plastik atau kata-kata cercaan yang saling menghujat.
Serentak, saya melihatmu duduk kebingungan dan sedih di Ta’if, sendirian di tengah cercaan kata-kata kotor itu. Gunung dan pepohonan geram hendak membelamu. Kau memilih keindahan, lewat doa “Mereka tak paham, Tuhanku,tapi anak-anak mereka memiliki masa depanku!” Saya memikirkan ‘Abdullah ibn Salul, si munafik, yang berteriak memakimu, “Kamu dan keladaimu bau busuk,” dan engkau menolak untuk membenci, menghukum, atau membalas dendam.
Saya memikirkanmu yang menenangkan sahabatmu di gua Hira’ dengan ungkapanindah, “Jangan takut, jangan berduka, Sungguh Tuhan bersama Kita”. Kita? Kaumemilih kata “kita” saat itu, bukan “saya” seperti Musa dulu mengucapkannya. Sahabatmu, saat itu, merasa tenang dan tentu saja “berharga” ada-bersama dalam kereta kasih sayang Tuhan.
Saya memikirkanmu ketika engkau memerintahkan tentaramu untuk menghindar dari sarang semut dan memulihkan sayap yang patah pada burung yang terluka. Sekaligus pedih menemukan namamu ada dalam bendera hitam bersama kepulan asap jumawa. Saya ingin menemukan senyummu yang indah melembutkan dunia dan mendengar tawamu di tengah anak-anak. Saya ingin menjadi kanak-kanak di pelukanmu, memperhatikanmu menambal bajumu, dan kemudian bercanda dengan nenek-nenek tentang surga tanpa ketuaan.
Sayamengenalmu sebagai pribadi. Saya tidak mengenalimu hanya sebagai suatu aturan kumpulan peringatan yang terkait dengan hukum dan keilmuan yang abadi. Saya membiarkan diri tak mengenalmu melalui rantai riwayat, lalu berdebat tentang mungkinkah engkau menyatakan pernyataan yang takmasuk akal bagi pikiran kini. Kau, bagiku, lebih dari sebaris urut-urutan periwayat, bahkan tanpa periwayat itu pun kau tetap ada.
Karena itu bagiku, dan semoga Tuhan mengampuniku, sunnah-mu adalah masa keindahan yang sempurna yang memancar dari cintamu; pribadmu. Sunnah-mu adalah keindahanmu, dan keindahan tidak dapat ditiru. Keindahan harus dirasakan dan dicintai –bukan diteliti atau dicacah-cacah oleh sejumlah kategori. Mudah-mudahan tak keliru, bagiku, Semua buku deskriptif di dunia ini tidak dapat mengajar hati yang kotor tentang keindahan; dan semua periwayatan dunia tidak dapat mengajarkan cinta pada hati yang keras.
Maulana ya Maulana ya sami’ du’a-ana
Bihurmati Nabi Muhammad Istajib du’a-ana
Siapa yang memujimu dengan lagu tarling cirebonan di tengah malam seperti ini?
Kubuka pintu, kukejar sumber suara itu. Hanya bayang putih berkelebat cepat. Kukejarlagi, hanya sisa harum yang masih menempel pada angin. Dan dendang lagu ini terdengar dari jauh:
Awak bodo hormatana kanjeng Nabine
Mugi Angsal amal shaleh ning atine
Vijayakusuma, Agustus 2014
Post a Comment