“Kulihat orang-orang
terkuat dan terpandai. Kulihat semua potensi ini, dan kulihat itu disia-siakan.
Seluruh generasi ini memompa gas, menunggu meja, atau jadi budak berdasi. Iklan
membuat kita mengejar mobil dan pakaian, mengerjakan pekerjaan yang kita benci
agar kita bisa membeli barang-barang yang tidak kita butuhkan. Kita adalah
anak-anak sejarah, tanpa tujuan atau tempat. Tak ada perang besar, tak ada
depresi besar. Perang besar kita adalah perang spiritual. Depresi besar kita
adalah hidup kita sendiri. Kita dibesarkan untuk percaya bahwa suatu hari kita
akan jadi jutawan atau rock star, tapi sebenarnya tidak. Dan kita
mempelajari fakta itu dan kita menjadi sangat marah.” Orasi singkat Tyler
Durden—tokoh yang diperankan Brad Pitt dalam film Fight+ Club—dengan
tepat merepresentasikan potret kegelisahan dan krisis kemanusiaan yang
tampaknya sudah menjadi permasalahan yang klasik, yaitu pencarian jawaban—yang
tak kunjung ditemukan—ihwal arah dan makna perjalanan hidup manusia.
Kegelisahan seperti itu sangat lazim muncul pada diri setiap manusia.
Hal itu berasal dari dorongan dasar psikis manusia. Suatu dorongan yang dapat
digunakan untuk sesuatu yang sifatnya profan, maupun yang sifatnya spiritual.
Bahwa manusia itu senantiasa terdorong untuk menilai atau mencari sesuatu yang
lebih, entah itu lawan jenis yang lebih tampan atau lebih cantik, yang lebih
baik atau yang lebih pengertian, yang lebih kaya atau yang lebih menggairahkan.
Bisa juga pekerjaan dengan uang yang lebih banyak ataukah yang lebih
menyenangkan, rumah yang lebih besar ataukah makanan yang lebih enak.
Pengetahuan yang lebih rumit dan menggairahkan ataukah yang lebih baru dan
lebih bergengsi, deretan gelar yang bergengsi ataukah citra kepandaian diri
yang lebih prestisius. Pendek kata, dalam kehidupannya, disadari maupun tidak,
manusia selalu dipenuhi oleh berbagai keinginannya kepada segala sesuatu yang
lebih atau melampaui. Namun, dorongan akan sesuatu yang lebih ini pun bisa digunakan
untuk sesuatu yang sifatnya lebih spiritual. Inilah landasan awal yang
digunakan manusia untuk mencari sesuatu yang jauh melampaui dirinya, sesuatu
yang ultima, sesuatu yang lebih berkuasa, lebih mengetahui—yang secara umum
sering disebut sebagai Tuhan.
Adalah biasa apabila manusia merasa bosan, karena dalam dirinya pun
ada dorongan dasar yang selalu menuntut kebaruan akibat ketidakpuasan terhadap
hal yang sama. Dalam jalan yang profan, misalnya, hal ini bisa dipuaskan dalam
bentuk hasrat akan komoditi-komoditi baru; sementara dalam jalan spiritual, hal
ini bisa dipuaskan dalam bentuk penemuan khazanah ilahi yang senantiasa baru.
Terserah pada manusia, hendak diarahkan kemanakah dorongan-dorongan dasarnya
tersebut. (Dorongan dasar di sini tidaklah sama dengan insting, karena
pandangan bahwa manusia memiliki insting masih harus dikritisi, sebab, pada
kenyataannya, manusia bisa lepas dari instingnya, tidak seperti binatang yang
justru harus menggunakan instingnya untuk bertahan hidup.)
Hasrat memang terbentuk dari rasa kurang (lack), namun hasrat
terbentuk dari dua bentuk dorongan dasar yang membuat manusia jadi menginginkan
sesuatu, yaitu karnal (carnal) dan libidinal. Karnal adalah hasrat tubuh
kepada sesuatu yang sifatnya material, seperti lawan jenis, harta benda, atau
makanan, dan segala hal material lainnya. Pembentukan karnal ini sangat
bergantung kepada sifat dasar (nature) dari objek karnal itu sendiri
(yaitu objek-objek material) yang “bersentuhan” dengan tubuhnya. Misalnya,
apabila seseorang terbiasa dengan makanan yang sangat sederhana, maka karnalnya
terhadap makanan tidak tumbuh menjadi semakin sophisticated. Namun,
sekalinya dia mencicipi makanan yang jauh lebih mewah dan enak daripada yang
biasa dia makan, maka karnalnya pun mulai memiliki referensi lebih dan akan
mulai meng-upgrade karnal tersebut untuk menciptakan keinginan yang
lebih dan rasa kekurangan.
Libido, secara umum, sering dikonotasikan dengan dorongan seksual,
padahal di karya-karya terakhirnya Freud pun tidak lagi menggunakan libido
dalam pengertian semata hasrat seksual, tetapi lebih kepada energi hidup secara
lebih luas. Istilah libidinal tidak kami gunakan dalam definisi dan konteks
psikoanalisis pada umumnya, selain juga untuk membedakan dan menghindar dari
pengertian umum istilah libido tersebut. Libidinal adalah hasrat tubuh kepada
sesuatu yang sifatnya imaterial, seperti citra, harga diri, kekaguman orang
lain, kepandaian, dan segala hal imaterial lainnya.
Dalam pembentukannya, libidinal ini lebih terarah kepada dirinya sendiri,
kepada dorongan dan kepentingannya akan pemuasan sang ego—yaitu, aspek “otak”
dari libidinal. Di sini, imajinasi sangat berperan penting dalam pembentukan
libidinal ini, karena kepuasan libidinal sifatnya lebih imaterial, dan dalam
pertumbuhannya, libidinal sangat memerlukan kehadiran yang lain sebagai
apresiatornya.
Gabungan karnal dan libidinal akan membentuk hasrat,
karena ketika dimanifestasikan, dalam hasrat selalu terdapat unsur karnal dan
libidinal. Misalnya, hasrat untuk memiliki HP terbaru dan tercanggih (karnal)
dapat membuat seseorang merasa percaya diri dan bergengsi di hadapan orang lain
(libidinal), hasrat untuk memiliki pacar perempuan cantik dan seksi (karnal)
dapat membuat seorang lelaki merasa bangga dalam pergaulannya (libidinal),
dan masih banyak lagi yang lainnya.
Karena hasrat tercipta dari rasa kurang (lack),
imajinasi, dan dorongan yang senantiasa menginginkan sesuatu yang paling atau
yang lebih, maka proses perubahan kebudayaan ke arah yang sifatnya lebih
hipereal pun, salah satunya, dipicu juga oleh dorongan hasrat ini. Begitu pula
halnya dengan proses pelipatan dan percepatan kebudayaan yang semakin lama
semakin meningkat intensitasnya, sebagaimana yang digambarkan dalam buku ini.
Pelipatan dan percepatan tersebut nyaris menyerupai banjir Nuh; karena
kemana pun mata diarahkan yang terlihat hanyalah air bah. Kini, banjir Nuh ini,
lebih dikenal dengan istilah globalisasi. Sudah banyak dianalis oleh berbagai
pemikir ihwal bagaimana globalisasi justru malah memicu revitalisme dan identitas
nasional. Tak ubahnya seperti sekian banyak orang yang dimasukkan ke dalam
sebuah ruangan hingga penuh sesak, yang terjadi bukanlah bagaimana mereka
saling melebur, tapi malah saling menegaskan kediriannya masing-masing,
membedakan dirinya dari yang lain. Namun, tampaknya ada satu fenomena
globalisasi yang ingin diceritakan dalam buku ini, yaitu globalisasi hasrat
yang berpacu menuju ekstremitas.
Ekstrimitas memang seringkali muncul karena obsesi manusia untuk
mencapai the limit of experience, untuk senantiasa mencari kebaruan
hingga titik terjauhnya. Berbeda dengan masyarakat
modern—yang disebut sebagai “hot society” oleh Levi-Strauss—masyarakat
tradisional atau “cold society” hidup dalam perubahan yang lambat, dalam
elemen-elemen peradaban yang tidak sekompleks masyarakat modern, serta memutar
siklus hidupnya dalam suatu lingkaran tradisi yang berulang dan senantiasa
dijaga kesuciannya.
Namun, pandangan ihwal kelembaman masyarakat tradisional
juga berbalik mengenai masyarakat modern, yang pada dasarnya juga memiliki
suatu siklus tradisi yang senantiasa berulang, berupa rutinitas
yang dilakukan dengan pengurasan tenaga yang intensif, baik dalam ritme linier
maupun chaos, hingga mengkristal menjadi disiplin tubuh yang
bersifat semakin halus, yang semakin menguasai kesadarannya. Energi manusia
nyaris tercurah untuk mencapai tujuan dan hasil yang selalu terwujud dalam
bentuk yang ternyata jauh dari apa yang dibayangkannya.
Jadi, sebenarnya kebaruan dan perubahan itu terjadi dalam
skema fraktal: dari tingkat peradaban manusia hingga pada diri setiap individu
itu sendiri. “Perubahan” adalah kata yang lebih netral untuk menggambarkan
sejarah manusia, bukan “kemajuan” seperti yang umum dipakai. Kata “kemajuan”
mengisyaratkan bahwa suatu masa lebih baik daripada masa yang lainnya, suatu
masa lebih beradab daripada masa yang lainnya. Pikiran tersebut tidak sejalan
dengan kemanusiaan itu sendiri, karena manusia, seperti yang diungkapkan
Levi-Strauss, “selalu berpikir dengan kualitas yang sama juga” dan pikirannya tidaklah
“berkembang” sebanyak penemuan area baru pengetahuan di mana “unchanged and
unchanging power” dari pikirannya mungkin diterapkan.
Maka, kompleksitas permasalahan yang dihadapi setiap manusia di setiap
zaman pada dasarnya adalah sama, sedangkan yang berbeda hanyalah manifestasinya
saja. Apa yang terjadi saat ini hanyalah satu fragmen saja dari sejarah panjang
umat manusia dalam kualitasnya yang sama. Dan, rasanya sudah sangat biasa
ditemui orang yang berkata, “zaman sekarang sudah rusak,” “dunia mau kiamat,”
atau berbagai pernyataan yang sering dituliskan oleh para pemikir, seperti
akhir dari budaya, akhir dari sejarah, akhir dari sosial, akhir dari ideologi,
dan berbagai akhir lainnya. Bahkan John Milton, sang
Iblis dalam film “Devil’s Advocate”—yang diperankan oleh Al Pacino—juga
membuat pernyataan yang bernada apokaliptik:
“Kita
memperbesar appetite manusia hingga bisa meledakkan atom-atom hasratnya.
Kita membangun ego hingga setinggi katedral. Tersambung ke tiap impuls di
seluruh dunia. Bahkan mempengaruhi impian yang paling membosankan dengan
fantasi berlapis emas, hingga tiap manusia menjadi kaisar yang hebat, menjadi
menuhankan dirinya sendiri. Lalu mau apa lagi? Saat kita bergerak terburu-buru
dari satu transaksi ke transaksi lain, siapa yang memikirkan lingkungan planet
ini? Saat udara tercemar, air menjadi kotor, bahkan lebah madu menghisap
radioaktif dan pencemaran itu berlangsung semakin cepat. Tak ada kesempatan
untuk berpikir, untuk bersiap-siap. Ini memperjualbelikan masa depan, padahal tak
ada masa depan. Dunia ini sudah tak terkendali, nak.”
Bagaimanapun, sesuatu yang bernada apokaliptik itu masih berguna untuk
membangkitkan sebuah penyadaran dan memancing cara berpikir kritis. Memang
terlalu banyak masalah dalam kehidupan manusia, baik dia sebagai sosok pribadi,
sebagai makhluk sosial, maupun sebagai bagian dari umat manusia. Untuk
memecahkan kesemua masalah tersebut, sangatlah tidak mungkin untuk mengandalkan
buku-buku yang memberikan berbagai kiat praktis; karena harus seberapa banyak
buku yang dibaca untuk berbagai masalah yang berbeda? Lagi pula, kenapa harus
memecahkan masalah? Bukankah masalah adalah all human’s “middle name”?
Berpikir kritis—sebagaimana yang dicoba digugah oleh wacana-wacana dianggap
bernada apokaliptik—tak ubahnya seperti sebuah kunci yang bisa digunakan untuk
membuka banyak pintu. Inilah cara yang bisa digunakan untuk menyikapi banyak
masalah, bukan semata memecahkan, karena sikap yang tepat pada masalah yang
tepat dengan sendirinya akan menunjukkan jalan pemecahannya. Sayangnya,
berpikir kritis masih merupakan hal yang mewah di negeri ini; negeri yang
masyarakatnya lebih suka ngobrol daripada membaca.
Setelah Hipersemiotika:
Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna dan Posrealitas: Realitas
Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, inilah buku ketiga Yasraf Amir Piliang
yang diterbitkan oleh Jalasutra. Awalnya, buku ini diterbitkan oleh Mizan, dan
ketika pertama kali terbit, buku ini langsung mendapat banyak sambutan serta
memberikan banyak inspirasi bagi peminat cultural studies. Bahkan hingga
awal tahun 1998, buku ini sudah mengalami cetak ulang hingga empat kali. Salah
satu hal yang cukup mengherankan dari buku ini adalah bahwa banyak pemikir
kontemporer yang diulas cukup panjang dan “cair” pemikirannya oleh Yasraf,
ternyata masih nyaris “tak tersentuh” dan “tak diulas detail” oleh penulis
kebudayaan lainnya.
Selain itu, untuk sekian lama buku ini menghilang dan nyaris menjadi
mitos. Seringkali para peminat cultural studies yang baru mulai menapak
di wilayah ini, hanya mendengar ihwal buku pertama karya Yasraf Amir Piliang
yang monumental ini. Kini, buku ini lahir kembali dengan beberapa penambahan
baru, antara lain bagian Prolog dan Epilog yang benar-benar baru. Hal ini,
diantaranya, dilakukan agar mereka yang telah memiliki edisi pertama buku ini,
masih bisa merasa mempunyai satu keunikan yang tidak ada di buku. Prolog dan
Epilog baru ini pun dimaksudkan untuk membayar “hutang yang tertunda” dari
Prolog dan Epilog edisi pertamanya, yaitu penjelasan tentang arti “Dunia yang
Dilipat” dan isu spiritualitasnya. Selain itu, Prolog dan Epilog ini akan
memperlihatkan tingkat kematangan Yasraf Amir Piliang setelah selang waktu
berlalu hingga tujuh tahun kemudian.
Pembagian tulisan dalam buku ini pun diperbarui dengan empat judul
bagian yang lebih sejalan dengan judul buku ini, yaitu Melipat Waktu, Melipat
Ruang, Melipat Tanda, dan Melipat Budaya. Selain bagian
Prolog dan Epilog, buku ini pun ditambahi dengan 13 tulisan baru yang senada
dengan tujuan dari isi buku ini, yaitu Merampungkan Proyek Modernitas:
Habermas, Modernitas dan Posmodernitas, Narasi Posmodernisme: Menuju
Titik Balik Peradaban Modern, Hiperglobalisasi: Kritik dan Otokritik
Globalisasi, Dua Wacana Globalisasi: Silang Budaya Era Global,
Horror-Culture: Kebudayaan dan Kekerasan, Libidosophy: Kapitalisme,
Tubuh dan Pornografi, Gender Horrography: Perempuan, Media dan Kekerasan,
Merkantilisme Pengetahuan: Pendidikan Sebagai Mesin Citra Kapitalisme,
Chaosmology: Order dan Disorder dalam Kebudayaan, Parodi
Posmodern: Ada Sebuah Negeri, Hobi Warganya Kolusi, Posmodernisme dan
Kita: Identitas dalam Dekonstruksi Kebudayaan, Menuju Kota Digital:
Potret Kota, Potret Manusia, dan Wacana Kebudayaan Kontemporer:
Pengaruhnya Terhadap Tata Nilai Seni Rupa.
Tak ketinggalan, bagian glosarium pun banyak ditambahi dengan entri
baru. Adalah penting bagi para pembaca untuk melihat dulu bagian glosarium ini,
karena dalam banyak diskusi atau seminar, Yasraf seringkali dihujani berbagai
pertanyaan yang pada dasarnya muncul dari ketidakmengertian akan definisi dari
berbagai terminologi yang digunakannya. Sebagaimana yang pernah dilontarkan
oleh Deleuze & Guattari, “People sometimes criticize us for using
complicated words ‘to be trendy.’ That’s not just malicious, it’s stupid. A
concept sometimes needs a new word to express it, sometimes it uses an everyday
that gives it a singular sense.”
Untuk kesempatan ketiga ini kami harus mengucapkan terima kasih kepada
Pak Yasraf yang senantiasa memberi dorongan dan kepercayaan kepada kami. Kepada
Ahmad Baiquni, teman lama kami, yang mewakili Mizan dalam pengurusan izin
peralihan hak terbit buku ini kepada Jalasutra. Tentu saja, tak lupa juga
ucapan terima kasih kepada teman-teman di Mizan yang selalu berbagi
pengetahuannya dengan kami, haruskah kami menyebutkan nama Anda satu per satu?
Ah, terlalu banyak. Kepada Andri Martias Mawardi, teman dan boss Jalasutra,
yang sama-sama kita melewati masa-masa susah dan menyebalkan. Terima kasih
untuk kesempatan dan kepercayaannya untuk membangun Jalasutra kembali. Juga
kepada segenap staf Redaksi Jalasutra Yogya (Ifah, Dewi, Titin, Titik, Apri)
dan kru percetakan (Hendar, Yanto dan para pemain pingpong lainnya). Kepada tim
Redaksi Jalasutra Bandung (Acia, Anwar, Antorio, Anton, Fenfen, Lucky, Dosal,
Mas Idi Subandy Ibrahim) dan tim Redaksi Jalasutra Jakarta (Aten, Donny, Agus, dan gerombolan begadangers-nya).
Kepada para pembaca, kami mengucapkan selamat bertamasya melampaui batas-batas
kebudayaan.
Alfathri Adlin & Kurniasih
Editor Jalasutra