Gy3ZRPV8SYZ53gDjSFGpi7ej1KCaPY791pMbjB9m
Bookmark
Kalimat apa saja yang anda kehendaki (ketika tersorot oleh kursor)

Pengantar untuk Hipersemiotika (Yasraf Amir Piliang)

Setelah lewat dari duapuluh tahunan sejak awal kehebohannya, istilah “posmodernisme”, sebagai terminologi, periodisasi ataupun isi gagasan, tetaplah problematis dan penuh kontroversi. Namun, rupanya hal itu tak seberapa mengganggu perkembangan isu dan substansi yang ditawarkannya. Kendati sebagai trend ia boleh jadi sudah kadaluwarsa, dalam berbagai kemasan baru yang berbeda ternyata sebagai substansi ia justru berkembang biak hingga hari ini, seperti sesuatu yang tak terelakkan. Bahkan dari sudut ini, substansi posmodernisme sepertinya justru baru lahir dan berkembang. Hampir di segala lini wacana, dari biologi, fisika, politik, antropologi hingga teologi kini berhamburan kerangka-kerangka pikir baru yang hanya bisa dimengerti bila kita memahami segala isu yang awalnya dilemparkan oleh gejala posmodernisme.
Untuk sekadar mengingat kembali masalahnya, dalam memahami konsep posmodernisme kita memang mudah terjebak kedalam berbagai kerancuan perspektif, terutama bila kita hendak sangat nyinyir membuat batasan-batasan tegas yang memisahkan antara modernisme dan posmodernisme. Karikatur posmodernisme mudah bercampur baur dengan substansi isinya yang kompleks. Posmodernisme dalam perspektif estetik kerap tumpang tindih dengan posmodernisme dalam perspektif filsafat. Yang pertama bicara tentang perubahan gaya, dengan pembabakan tersendiri, yang kedua tentang perubahan kerangka dasar pemikiran, dengan pembabakannya yang khas pula. Belum lagi pembicaraan pada fenomena kultural, macam kulturkritik ataupun ideologikritik, juga sering membaur dengan pembicaraan pada wilayah problematika epistemologis, sehingga antara simptom dan substansi, juga antara obyek kajian dan paradigma berpikir, terjadi kerancuan yang menyulitkan kita untuk menyiangi duduk perkaranya.          

Lebih pelik lagi, bahkan para teoretikus posmodernisme itu sendiri pun tak jarang saling bertabrakan dalam mencanangkan batasan-batasan itu. Apa yang dianggap karakteristik posmodernisme oleh Jencks seperti double-coding, misalnya, justru oleh Lyotard dianggap karakteristik modernisme, meski ia menggunakan istilah “nostalgia” untuk itu. Yang oleh Suzy Gablik dianggap ciri posmodernisme, yaitu perayaan pluralitas dan polisemi, justru mirip ciri-ciri modernisme yang dicanangkan oleh Eugene Lunn, meski ia menggunakan istilah “ambiguitas, paradoks, dan ketidaktentuan.” Bahkan kecenderungan macam simultanitas, juktaposisi dan montase, yang kerap dianggap karakter posmodernisme, justru oleh Lunn dianggap karakter modernisme. Dan kalau kita dengarkan Habermas, Anthony Giddens, Ernest Gellner, atau Callinicos, yang sebal terhadap istilah “posmodern” itu, di sana pun ada anggapan bahwa segala kecenderungan kritis dekonstruktif posmodern tidak lain dari konsekuensi logis lebih lanjut dari reflektivitas modern sejak Descartes dan sempat menggumpal pada Zaman Pencerahan. Dan bagi mereka substansi yang ramai dibicarakan dalam posmodernisme tak lebih dari sekadar variasi lain dari perdebatan yang telah terjadi dalam kritik Romantisisme atas Pencerahan di awal abad 19-an. Tak heran bila dalam kamus The Modern Day Dictionary of Received Ideas, dinyatakan bahwa “posmodernisme” adalah “istilah yang tak punya arti dan gunakan saja sesering mungkin”, kita langsung teringat omongan Franco Moretti, bahwa istilah “modernisme” adalah juga “istilah tanpa arti dan jangan terlalu sering digunakan.” Memang lucu dan terasa konyol.

Tapi apa pun label yang kita gunakan, sekurang-kurangnya wacana yang berkembang sejak itu telah membukakan persoalan-persoalan mendasar dan paradigmatik dalam peradaban manusia di awal milenium ketiga ini. Orang seperti Lyotard, Feyerabend dan Rorty misalnya, telah membantu menegaskan secara populer relativitas dan sisi ideologis dunia ilmiah modern dan membuka ruang lebih luas bagi wacana-wacana kecil yang lama disisihkan. Sejak mereka itu hegemoni positivisme direlatifkan secara lebih definitif. Dan sejak itu segala wacana tentang posisi sains hari ini menjadi jauh berbeda. Derrida dan Barthes meradikalkan ihwal instabilitas makna dalam wacana, yang benihnya telah tersemai dalam strukturalisme Saussure maupun hermeneutika Heidegger, Gadamer dan Ricoeur. Foucault mempertegas kemungkinan cara lain membaca sejarah sekaligus memperlihatkan eratnya keterkaitan antara sistem-sistem pengetahuan dengan kekuasaan: suatu perspektif penting, yang dikemudian hari terbukti melahirkan sensibilitas intelektual baru di kalangan para ilmuwan sosial dan humaniora umumnya. Deleuze sungguh berjasa dengan perspektif barunya—perspektif skizofrenik—dalam menganalisis dan memahami fenomena kebudayaan dan kapitalisme mutakhir. Dengan itu rasanya ia berhasil memperlihatkan struktur-struktur tersembunyi di balik peradaban hari ini, lebih dalam daripada yang telah dilakukan oleh para pengikut Freud dan Marx lain sebelumnya. Sayang sekali, kebaruan sudut pandangnya membuat gagasan-gagasannya tidak cepat memasar dan sepertinya perlu waktu lebih lama untuk bergaung lebih signifikan.

Ada pun Baudrillard, yang dalam buku ini menjadi salah satu fokus utama pembahasan, adalah salah satu tokoh yang paling berkibar di antara para pemikir itu juga. Gaya bahasanya memang provokatif dan acapkali hiperbolis, sehingga mudah memikat dan memicu antusiasme, kendati sesungguhnya tak mudah dicerna juga. Buku ini akan menguraikan dengan bagus dan fasih gagasan-gagasan itu. Namun, kiranya perlu kita menangkapnya secara cukup proporsional. Untuk itu ada bagusnya kita mengingat juga beberapa hal yang bisa meragukan dan terasa lemah pada Baudrillard. Yang langsung terasa pada Baudrillard adalah bahwa gaya wacana yang dimainkannya sesungguhnya kurang filosofis dalam arti kurang bersandar pada rigoritas argumentasi dan lebih menekankan efek kata yang bersifat retoris. Bila kita gunakan peristilahan yang diciptakannya sendiri, maka gagasan-gagasan Baudrillard persis merupakan wajah simulacra yang beranak-pinak dan ber-“ekstasi” sedemikian menciptakan dunia imajiner hyperreal-nya sendiri. Kemudian salah satu yang sangat ia tekankan juga adalah bahwa seluruh realitas seakan sudah sedemikian digenangi oleh berlapis-lapis duplikasi simulacra hingga seolah tak ada kemungkinan lagi membuat semacam jarak reflektif. Namun, bila demikian halnya. bagaimana mungkin Baudrillard sendiri masih bisa bicara tentang korelasi dan transisi antara yang hyperreal dan yang real? Ini kontradiksi performatif yang diidap oleh wacana-wacana Baudrillard.

Pada sisi lain Baudrillard pun terlampau termabukkan oleh dunia imaji dan penanda sedemikian hingga tak cukup memberi perhatian pada kenyataan bahwa medan suprastruktur itu betapapun juga dilahirkan oleh medan infrastruktur, yaitu mesin-mesin reproduksi, macam televisi, komputer, video-recorder, satellite-disc, dan sebagainya. Dan bila kita menyasar ke wilayah peralatan media itu, sesungguhnya seperti diperlihatkan oleh orang macam Lipovetsky, kita pun bisa melihatnya dari sisi tertentu sebagai terbukanya peluang lebih besar bagi inisiatif individu untuk terlibat dalam kiprah kultur secara lebih otentik (bahkan kendati pun ada orang yang melihatnya tetap sebagai fenomena privatisasi palsu alias pseudo-privacy). Berkaitan dengan itu, tendensi omongan Baudrillard yang sangat pesimistik dan apokaliptik juga sering terasa berlebihan, seakan dunia manusia akan hancur karena manusia telah terperangkap dalam dunia imajiner yang tak lagi memungkinkannya bersikap realistis. Nada apokaliptik macam itu agak tipikal dan rutin di kalangan para pemikir yang pernah terlibat dalam revolusi kaum muda tahun 68-an di Eropa, yang dalam perjalanan waktu ternyata mengalami disilusi dan merasa gagal. Dunia kapitalisme yang dahulu dikritiknya dan hendak dimodernisasikannya ternyata tetap berjaya dengan segala kelebihan dan kontradiksi internnya. Sikap apokaliptik berlebihan itu jangan-jangan hanya mencerminkan ketidakberdayaan para pemikir macam Baudrillard itu sendiri. Dengan mudah kita masih selalu bisa melihat dan mengalami bahwa dalam realitas nyata hubungan, sikap, gambaran diri, atau cara berpikir kita tak sepenuhnya sangat ditentukan oleh simulacra, melainkan oleh interaksi konkrit yang pemaknaannya jauh lebih spesifik dan kontekstual daripada yang bisa direduksi ke dalam kodifikasi umum simulacra. Pada titik ini, segala wacana apokaliptik akhir-akhir ini yang gemar mencanangkan “berakhirnya” sesuatu atau segala sesuatu, seringkali hanyalah siasat retoris saja untuk memperlihatkan urgensi sisi-sisi tertentu realitas yang biasanya tak dilihat.

Meskipun begitu, gagasan-gagasan Baudrillard tetaplah penting, terutama karena salah satu fenomena yang menonjol di awal milenium ketiga ini adalah terjadinya proses demokratisasi dan radikalisasi logika hedonisme di kalangan kelas menengah yang memang makin mampu mengonsumsi dan sedang sangat bergairah ke arah itu (salah satu penyebab korupsi terparah akhir-akhir ini di Indonesia). Kehidupan kelompok menengah itu makin menuntut “gaya”, makin mengalami “estetisasi”, maka wacana Baudrillard bisa banyak relevan untuk memperlihatkan sisi terselubung dan berbagai konsekuensi dari perayaan konsumsi dan dunia imaji itu. Itu pula yang membuat buku Yasraf Amir Piliang ini masih sangat relevan.

Selain itu, selama ini pembahasan yang agak substansial dan komprehensif tentang posmodernisme yang sempat terbit, baru menggarap sisi filosofis dan epistemologisnya. Sedang sisi kultural dan estetik dari posmodernisme belum tergarap secara rinci dan menyeluruh. Yang ada adalah tulisan-tulisan yang berceceran secara parsial. Buku ini, sebagai suatu buku utuh, berhasil memperlihatkan secara menyeluruh dan rinci tentangnya. Pemaparan deskriptif-informatif, bahkan nyaris leksikografis, yang menuntut ketekunan cermat ini, sangatlah berharga sebagai suatu tahapan dasar untuk melakukan refleksi lebih mendalam dan substansial selanjutnya atas kiprah peradaban mutakhir dunia kita ini. Bagi mereka yang telah alergi terhadap istilah “posmo” sekali pun, buku ini tetap akan sangat bermanfaat.[]
Oleh: Bambang Sugiharto, filsuf