Gy3ZRPV8SYZ53gDjSFGpi7ej1KCaPY791pMbjB9m
Bookmark

Bambang Q-Anees | TANGGUNG JAWAB SETELAH RAMADHAN


TANGGUNG JAWAB SETELAH RAMADHAN

Bambang Q-Anees

            Seorang pedagang kaya raya, yang setiap detiknya menghitung untung rugi, suatu ketika kedatangan seorang guru sufi. Ia ditanya, “Untuk apa Anda mengumpulkan banyak harta benda seperti ini?” Pedagang itu menjawab, “hidup butuh makan, dan makanan tak pernah bisa gratis didapatkan”. Guru-sufi itu tersenyum dan pergi membiarkan pedagang itu sibuk dengan hitungan rugi labanya.

Senja datang, pedagang itu dikejutkan oleh suara burung yang jatuh tepat di depan matanya. Burung itu patah sayap, serentak pedagang itu berpikir, “Pastilah ia akan mati kelaparan, ia tak bisa mencari makanan”. Selang beberapa lama, seekor burung lain hinggap di dekat burung-patah-sayap itu, di paruhnya ada makanan yang disuapkan pada burung-patah-sayap.  Melihat peristiwa itu, sang pedagang terkesiap. Seluruh dugaannya salah, makanan bisa didapatkan tanpa usaha. 

Singkat cerita, pedagang itu menginsyafi satu hal bahwa seluruh prinsip hidupnya salah total. Untuk apa ia sibuk-sibuk mengumpulkan harta, kalau ternyata kehidupan bukan ditentukan oleh usaha. Maka diberikanlah seluruh harta bendanya pada tetangga-tetangganya yang fakir miskin. Ia sendiri memutuskan untuk mengembara mencari guru sufi agar mendapatkan ajaran kesunyataan.

Setelah sekian lamanya ia mengembara, ia pun bertemu dengan guru sufi itu. Guru sufi terheran-heran melihat perubahan pedagang yang dikenalinya dulu. “Sahabatku, kenapa Anda berubah drastis seperti ini?” Sang pedagang menceritakan semua kisahnya mengenai burung, “Karena itulah saya memutuskan untuk tidak peduli pada harta benda, toh untuk dapat hidup saja kita hanya butuh sesuap nasi yang bisa didapatkan dimana saja tanpa terduga.

Saya memutuskan untuk zuhud menjadi seperti Anda”. Sang guru-sufi kembali tersenyum, “Bagus juga kau tersadar, hanya saja ada satu pertanyaan buatmu, kenapa kamu memilih menjadi burung-patah-sayap bukan burung yang selalu memberi makan pada mereka yang kesusahan?

Kisah sufi adalah  gambaran ajaran Islam yang terdalam. Kisah ini menunjukkan prinsip dasar Islam, bahwa memberi lebih baik dari menerima. Keputusan pedagang untuk zuhud (menjauhkan diri dari urusan duniawi) kalah baiknya dari kegiatan memberi.

Puasa dalam banyak hal dapat disamakan dengan zuhud, meninggalkan urusan keduniawian dan mendahulukan perintah Allah.  Setiap hari kita memiliki makanan dari hasil usaha sendiri, makanan itu hak kita, namun ia tak berani kita sentuh sebelum tiba waktu berbuka (waktu yang Allah perintahkan untuk makan dan minum pada bulan Ramadhan). Namun, sekali lagi, puasa seperti itu saja bukanlah apa-apa, kita harus memberi dan memberi.
Bambang Q-Anees | TANGGUNG JAWAB SETELAH RAMADHAN

            Dalam Kisah sufi yang lain disebutkan ada seorang pejabat negara yang sangat khusyuk bermunajat kepada Allah. Saat itu malam hari, ia terbiasa shalat tahajud. Pada saat itu, terdengar seseorang berlari di atap rumahnya. Serentak pejabat  itu terganggu dan marah, “Apa yang sedang kau lakukan di atap istanaku?”

Seorang lelaki tua terlihat sedang berlarian di atap rumahnya, “Saya sedang mencari untaku…” Pejabat negara itu tentu saja berang, “Bagaimana mungkin kamu bisa menemukan untamu di sini?” Sambil berlalu, lelaki tua itu bilang, “Bagaimana mungkin kau bisa menemukan ridha Allah di dalam istanamu yang megah, Ridha Allah ada di antara tetangga-tetanggamu yang Miskin”.

            Allah memang Rabb al-Mustadh`afin, dalam salah satu hadits Qudsi terpetik percakapan antara Nabi Musa yang ditegur karena ketidakpedulianya pada Allah. Nabi Musa bingung, karena Allah tentu tidak membutuhkan apa-apa. Namun Allah menjawab, “Bila engkau memberi makan fakir miskin, bila engkau memberi mereka perlindungan yang menghangatkan, bila engkau mengasihi mereka…saat itu engkau memperhatikan diriKu.

            Terhubung dengan kisah sufi yang pertama, kita dapat melihat inti terdalam ajaran Islam yang sangat peduli pada kemiskinan. Pembebasan kemiskinan adalah ajaran utama Islam, dan puasa merupakan cara agar semua muslim merasakan penderitaan kemiskinan lalu serentak memberikan bantuan pembebasan.

Maka ada perintah zakat fitrah, sebuah perintah yang menuntun kita untuk langsung bertemu, bersentuhan tangan dengan fakir miskin dan memberi mereka kebutuhan hidupnya. Zakat fitrah adalah ibadah penyempurnaan, tanpa zakat fitrah seluruh kepayahan mengendalikan makan minum sebulan lamanya tak berarti banyak. Ini sangat menjelaskan bahwa memberi dan membebaskan fakir miskin adalah makna utama kegiatan di bulan Ramadhan.

TANGGUNG JAWAB SETELAH RAMADHAN

            Kepedulain terhadap fakir miskin dan anak terlantar adalah makna yang dapat kita tunaikan setelah Ramadhan. Setelah Idul Fitri, merayakan kegembiraan dengan baju baru, kita dapat melengkapinya dengan sikap baru terhadap fakir miskin. Mereka bukan sampah masyarakat, mereka adalah pintu-pintu menuju keridlaan Tuhan; mereka adalah pintu-pintu menuju kebahagiaan kehidupan.

            Sebuah hadits dapat dikutipkan di sini, Bila masyarakat sudah membenci orang-orang miskin dan menonjol-nonjolkan kehidupan dunia, serta rakus dalam mengumpulkan harta; mereka akan ditimpa empat bencana: 1) zaman yang berat, 2) pemimpin yang lalim, 3) penegak hukum yang khianat; dan 4) musuh yang mengancam ( HR Ad-Dailami).

            Saat ini, kita hidup di sebuah negeri dengan tekanan masalah yang tak henti-hentinya dari bencana alam sampai benca moralitas, sedemikian beratnya. Kita juga mendengar ada praktek  korupsi yang tanpa malu dilakukan oleh pemimpin yang kita pilih, dan ada penegakan hukum yang pilih tebang. Semua isi hadits itu, sepertinya menggambarkan apa yang sedang melanda negeri ini.

Barangkali, berdasar pada hadits itu, semua masalah ini disebabkan oleh tiga sikap kita. Pertama, kita telah membenci fakir miskin. Sebagai orang biasa kita sering merasa kesal bila ditemui para pengemis, dan pada beberapa kabupaten/kota ada upaya merazia para pengemis itu karena dianggap mengganggu “keindahan dan ketertiban” kota.

Kedua,  kita begitu menonjol-nonjolkan kekayaan materi dan melupakan kekayaan hati. Siaran televisi menunjukkan kegemaran kita pamer kemewahan, kebiasaan kita berbelanja juga begitu.

Ketiga, karena kehormatan diri ditentukan oleh harta, maka kita sangat rakus dalam mengumpulkan harta. Apapun jalannya ditempuh, demi mendapatkan harta yang akan mempertinggi kehormatan kita.

Puasa Ramadhan telah mengajari kita  untuk menghapus seluruh kesalahan sikap tersebut. Pertama, dengan berlapar-lapar seharian penuh, kita jadi tahu betapa susahnya menjadi fakir miskin dan lebih susah lagi bila ia dibenci.

Kedua, kehormatan di depan Allah ternyata bukanlah harta, tetapi cara kita menuruti aturannya.

Ketiga, seberapa banyak al-Quran yang dibaca saat tadarus lebih berharga ketimbang seberapa banyak harta yang kita miliki.

Berdasar dua kisah sufi dan satu hadits ini, kita dapat merumuskan tindakan pasca-Ramadhan. Yaitu terus-menerus memberi, membebaskan kemiskinan di sekitar kita. Bila demikian cara tindakan kita, Pasca-Ramadhan nanti negeri ini akan dipenuhi oleh manusia-manusia yang membebaskan. 

Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi yang lainnya.
Post a Comment

Post a Comment