Gy3ZRPV8SYZ53gDjSFGpi7ej1KCaPY791pMbjB9m
Bookmark
Kalimat apa saja yang anda kehendaki (ketika tersorot oleh kursor)

Sekilas Tentang Filsafat Perenial dan Scientia Sacra

PERENIALISME ADALAH

Filsafat perenial juga disebut sebagai perenialisme dan kebijaksanaan abadi, adalah perspektif dalam spiritualitas yang memandang semua tradisi keagamaan dunia berbagi satu kebenaran metafisik atau asal-usul dari mana semua pengetahuan dan doktrin esoteris dan eksoteris telah tumbuh.

Filsafat perenial adalah konsep yang menjadi populer selama Renaisans. Hal ini didasarkan pada wawasan bahwa inti esoterik yang sama yang dijelaskan oleh banyak agama di dunia pada dasarnya sama. Menurut Arthur Versluis : 'Filosofi abadi tidak berarti bahwa semua agama adalah satu. Sebaliknya, itu berarti bahwa ada realitas metafisik manusia dasar yang dimiliki bersama.'

Perenialisme berakar pada minat Renaisans pada neo-Platonisme dan gagasannya tentang Yang Esa, dari mana semua eksistensi berasal. Marsilio Ficino (1433–1499) berusaha untuk mengintegrasikan Hermetisisme dengan pemikiran Yunani dan Yahudi-Kristen, menemukan teologia Prisca yang dapat ditemukan di segala zaman. Giovanni Pico della Mirandola (1463–94) mengemukakan bahwa kebenaran dapat ditemukan dalam banyak, bukan hanya dua, tradisi. Dia mengusulkan keselarasan antara pemikiran Plato dan Aristoteles, dan melihat aspek theologia Prisca di Averroes (Ibn Rusyd), Quran, Kabbalah dan sumber lainnya. Agostino Steuco (1497–1548) menciptakan istilah philosophia perennis.

Berbagai tradisi menamai realitas metafisik ini Roh, Tanah, Tuhan, Ruang kosong atau Kekosongan – inilah realitas yang mendasari dan menyatukan semua agama esoteris, menurut filsafat perenial. Realitas ketuhanan ini dapat disadari oleh individu melalui jalan pendakian mistis ke Sumber Satu yang melampaui semua dualitas, menghasilkan pencerahan. Platonisme, Tasawuf, Hermetisme, Kristen mistik, Vedanta, dan Buddhisme semuanya berbicara tentang pengalaman realisasi pribadi ini, yang mengarah pada transformasi dan pencerahan individu.

Ini adalah wawasan dasar perenialisme dan para perennialis yang berasal dari tradisi yang berbeda pada umumnya dapat saling mengenali satu sama lain. Namun, dalam agama tradisional, kesulitan dan konflik muncul ketika interpretasi yang salah dari pengalaman mistik menjadi dogma, dengan kata-kata atau ritual tertentu yang lebih diprioritaskan daripada wawasan esoteris internal, yang sering diabaikan atau tidak diakui.

Penafsiran yang lebih populer mendukung universalisme, gagasan bahwa semua agama, di bawah perbedaan yang tampak, menunjuk pada Kebenaran yang sama. Pada awal abad ke-19, kaum Transendentalis menyebarkan gagasan tentang Kebenaran metafisik dan universalisme, yang mengilhami kaum Unitarian, yang menyebarkan agama di kalangan elit India. Menjelang akhir abad ke-19, Theosophical Society semakin mempopulerkan universalisme, tidak hanya di dunia barat, tetapi juga di koloni barat.

Pada abad ke-20 universalisme lebih dipopulerkan di dunia berbahasa Inggris melalui Sekolah Tradisionalis yang diilhami neo-Vedanta, yang memperdebatkan metafisik, asal tunggal dari agama ortodoks, dan oleh Aldous Huxley dan bukunya The Perennial Philosophy, yang terinspirasi oleh neo-Vedanta dan Sekolah Tradisionalis.
Gagasan filsafat perennial berasal dari sejumlah teolog Renaisans yang mengambil inspirasi dari neo-Platonisme dan dari teori Bentuk. Marsilio Ficino (1433–1499) berpendapat bahwa ada kesatuan yang mendasari dunia, jiwa atau cinta, yang memiliki padanan di alam gagasan. Menurut Giovanni Pico della Mirandola (1463–1494), seorang murid Ficino, kebenaran dapat ditemukan dalam banyak tradisi, bukan hanya dua. Menurut Agostino Steuco (1497–1548) ada 'satu prinsip dari segala sesuatu, yang tentangnya selalu ada satu dan pengetahuan yang sama di antara semua orang.'

Menurut Soares de Azevedo, filsafat perennialis menyatakan bahwa kebenaran universal adalah sama di dalam setiap tradisi agama ortodoks dunia, dan merupakan dasar dari pengetahuan dan doktrin agama mereka. Setiap agama dunia adalah interpretasi dari kebenaran universal ini, yang diadaptasi untuk memenuhi kebutuhan psikologis, intelektual, dan sosial dari budaya tertentu pada periode sejarah tertentu. Kebenaran abadi ini telah ditemukan kembali di setiap zaman oleh para mistikus dari segala jenis yang telah menghidupkan kembali agama-agama yang sudah ada, ketika mereka telah jatuh ke dalam kata-kata hampa dan seremonialisme hampa.

Lebih lanjut Shipley mencatat bahwa Aliran Tradisionalis berorientasi pada tradisi ortodoks, dan menolak sinkretisme dan universalisme modern, yang menciptakan agama baru dari agama yang lebih tua dan mengkompromikan tradisi yang ada.

Ada dua sumber scientia sacra, yaitu sumber wahyu dan inteleksi atau intuisi intelektual yang menampilkan iluminasi (cahaya) hati dan pikiran manusia, sehingga memungkinkan hadirnya pengetahuan yang bersifat langsung,dapat dirasakan dan dialami, atau dalam tradisi Islam disebut dengan al-ilmu al-hudluri (ilmu yang hadir) . Scentia sacra akan diperoleh ketika setiap manusia adalah seorang Nabi dan ketika intelek berfungsi dalam diri manusia secara alamiah, maka ia akan melihat segala sesuatu dalam keilahian dan memiliki pengetahuan langsung tentang karakter suci sepanjang masa. Pusat pengetahuan adalah hati. Hati ibarat matahari, sedangkan pikiran ibarat bulan. Bulan memancarkan sinarnya dari pantulansinar matahari.

Scientia Sacra

Seyyed Hossein Nasr mengkritisi pemikiran sekular dan gigih mengajukan sains sakral atau Scentia sacra sebagai solusi terhadap desakralisasi ilmu pengetahuan dunia modern saat ini. Ia menuangkan gagasannya dengan menulis banyak buku, seperti Science and Civilization in Islam (1964), Islamic Science: An Illustrated Study (1976), Knowledge and the Sacred (1981), Religion and the Order of Nature, Man and Nature (1987), The Need for a Sacred Science (1993), dan lainnya.

Ada dua sumber scientia sacra, yaitu sumber wahyu dan inteleksi atau intuisi intelektual yang menampilkan iluminasi (cahaya) hati dan pikiran manusia, sehingga memungkinkan hadirnya pengetahuan yang bersifat langsung,dapat dirasakan dan dialami, atau dalam tradisi Islam disebut dengan al-ilmu al-hudluri (ilmu yang hadir) .

Scentia sacra akan diperoleh ketika setiap manusia adalah seorang Nabi dan ketika intelek berfungsi dalam diri manusia secara alamiah, maka ia akan melihat segala sesuatu dalam keilahian dan memiliki pengetahuan langsung tentang karakter suci sepanjang masa. Pusat pengetahuan adalah hati. Hati ibarat matahari, sedangkan pikiran ibarat bulan. Bulan memancarkan sinarnya dari pantulan sinar matahari.

Ketika pengetahuan manusia modern berpijak pada pemahaman bahwa ilmu pengetahuan terbatas pada realitas empiris, Nasr memandang pengetahuan dalam keseluruhan dan perpaduan realitas eksternal hingga pada yang paling internal. Maka Nasr mengajukan pemaknaan tauhid la ilaha ilia Allah (tiada Tuhan selain Allah) sebagai konsep dasar Islam yang didalamnya terkandung makna bawa sesungguhnya tiada realitas atau wujud selain daripada wujud Tuhan.

Maka Scientia sacra sesungguhnya membicarakan persoalan pengetahuan tentang realitas (ma'rifah) sekaligus membimbing manusia pada yang sakral melalui realisasi kebenaran (tahaqquq), proses penyatuan penahu tentang yang diketahui (ittihad 'aqil bi al-ma'qul) yang membuat gerak subtansial (harakat) jauhariyah). Sehingga ‘mengetahui’ bermakna mengada. Dengan kata lain pengetahuan manusia menyatu dengan manusia itu sendiri, mewujud.

Scientia Sacra sebuah gagasan unik ala Syed Hossein Nasr yang secara kontekstual masih terikat dengan wahyu ilahi. Dari alasan itulah, maka tujuan akhir dari segala pengetahuan sesungguhnya ialah pengagungan kepada Tuhan sebagai seumber pengetahuan.

Menurut Nasr, scientia sacra pada dasarnya adalah metafisika itu sendiri. Istilah ini dapat disebut sebagai puncak sains tentang “Yang Nyata”. Metafisika dalam pengertian bahasa Timur seperti prajna, jnana (dalam tradisi Hindu) dan ma’rifat atau hikmah (dalam tradisi Islam) sebagai sains paripurna tentang “Yang Nyata”. Dalam pengertian ini hikmah (metafisik) identik dengan scientia sacra.

Scientia sacra memandang semua yang ada pada dasarnya adalah refleksi dari Yang Real. Hipostase Ilahiatau Kemutlakan Tertinggi direfleksikan dalam lima kondisi eksistensi. Pertama, dalam ruang sebagai perluasan yang secara teoritik tidak terbatas.

Kedua,dalam waktu sebagai durasi yang secara logis tidak berakhir. Ketiga, dalam materi, sebagai eter yang merupakan prinsip baik materi maupun energi yang menandakan ketidakterbatasan substansiitas materi. Keempat, dalam bentuk kemungkinan tak terbatas tertangkap, dan kelima,dalam rangka, sebagai ketakterbatasan kuantitas.

Nasr mengajukan Sains Sakral (Sacred Science) sebagai jalan keluar dari sekularisasi ilmu pengetahuan. Menurutnya, iman tidak terpisah dari ilmu dan intelek tidak terpisah dari iman (credo ut intelligam et intelligo ut credam). Fungsi ilmu adalah sebagai jalan utama menuju Yang Sakral. 'Aql artinya mengikat kepada Yang Primordial.' Sama halnya dengan religio dalam bahasa Latin yang artinya mengikat. Bagaimanapun, Seyyed Hossein Nasr menegaskan, Sains Sakral bukan hanya milik ajaran Islam, tetapi dimiliki juga oleh agama Hindu, Buddha, Konfusius, Taoisme, Majusi, Yahudi, Kristen, dan filsafat Yunani klasik.

Gagasan Nasr tentang Sains Sakral merupakan pengejawantahan dari filsafat perenial yang telah dikemukakan sebelumnya oleh para Tradisionalis lainnya, seperti Rene Guenon (1886-1951), Ananda K Coomaraswamy (1877-1947), dan Frithjof Schuon (1907-1998). Semua gagasan mereka dikenal dengan berbagai nama, seperti Tradisi primordial, sanata dharma, sophia perennis, philosophia perennis, philosophia priscorium, prisca theologia, vera philosophia, dan scientia sacra. Semua istilah tersebut dimaksudkan bahwa kebenaran adalah abadi dan universal, namun sekaligus terejawantahkan dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda.

Perlu dipahami istilah tradisionalisme yang digunakan pegiat tradisionalisme tidak seperti yang direpresentasikan oleh para sosiolog, antropolog yang mendefinisikan bahwa tradisi adalah adat istiadat, keyakinan, etika , moral yang diwariskan dari generasi ke generasi. Nasr mengartikan tradisi sebagai realitas ketuhanan yang asli yang diwahyukan pada seluruh manusia dan kematian alam lewat perantaraan rasul, nabi , avatara dan logos dengan berbagai prinsip dan aplikasinya dalam berbagai bidang.

Jadi , ilmu tradisional berhubungan erat dengan prinsip dasar metafisika yang sebagian besar berelevansi dengan hal-hal sakral. Walhasil, tradisi ini menyatu dalam ilmu suci (Scientia Sacra). Menurut Nasr, konsep Scientia Sacra merupakan solusi dari ilmu sekularisasi. Credo Ut Intelligam Et Intelligo Ut Credam (Iman tidak terpisah dari ilmu dan intelek tidak terpisah dari iman). Ilmu sebagai jalan utama menuju yang Satu. Intinya, sains sakral tidak hanya dimonopoli oleh umat Islam namun dimiliki juga oleh pemeluk Budha, Hindu, Konfusius, Taoisme, Majusi, Yahudi , Kristen serta filsafat Yunani Klasik.

Melacak Jejak dan Pengaruh Pemikiran Seyyed Hossein Nasr

Menyusul Revolusi Iran 1979, bersama Ali Syariati dan Murtadha Muthahhari, Hossein Nasr dan pemikirannya mulai dikenal dan mempengaruhi diskursus Islam di Indonesia. Nasr dianggap berperan dalam menyediakan landasan filosofis bagi diskursus pluralisme agama.

Seyyed Hossein Nasr adalah cendekiawan terkemuka Amerika-Iran. Tumbuh dalam sistem pendidikan tradisional dan modern, Nasr dikenal sebagai pemikir penganjur tradisionalisme, perenialisme, dan sakralitas pengetahuan, atau apa yang disebutnya sebagai scientia sacra.

Pemikiran Nasr dibentuk oleh tiga latar belakang: sufisme, Syiah Islam, dan Persia. Dari Timur, pemikir yang mempengaruhi pemikiran Nasr adalah Ibnu Sina, Ibnu Arabi, Suhrawardi, dan dalam batas tertentu Mulla Shadra. Dari Barat, figur intelektual yang berperan membentuk pemikiran Nasr, antara lain adalah Bertrand Russell, Giorgio de Santillana, Frithjof Schuon, René Guénon, Ananda Kentish Muthu Coomaraswamy, Titus Burckhardt, Martin Lings, Marco Pallis, Huston Smith, Louis Massignon, dan Henry Corbin —sebagian besar dari mereka merupakan perenialis dan tradisionalis.

Dalam periode hidupnya di iran (1958-1979), pemikiran Nasr bisa dibagi menjadi dua. Pertama, Nasr berupaya menunjukkan apa yang disebut sebagai “Ilmu Islam” sebagai pandangan hidup alternatif terhadap realitas, dan bukan menjembatani atau tahapan dari sejarah perkembangan sains Barat. Kedua, Nasr menulis tema filsafat perenialisme terkait dengan ideal, realitas, alam, manusia, dan agama.

Di Amerika Serikat, lahirlah magnum opus Nasr: Knowledge and the Sacred. Buku ini berawal dari kuliah-kuliahnya pada sebuah forum prestisius di Skotlandia, Gifford Lectures.

Dalam buku ini, dia menggambarkan masalah desakralisasi sains,gagasan tentang hierarki dan keserbaragaman yang berkembang dalam sains dan seni tradisional dari sudut pandang tradisional. Dari buku inilah, dia menghasilkan ide scientia sacra, yang menurutnya hidup dalam setiap tradisi.

Di sinilah makna tradisi menemukan penjelasannya yang paling mendalam. Bagi Nasr, tradisi sangatlah penting. Itulah mengapa dia memberikan definisi yang berbeda pada kata ini.

Tradisi, menurut Nasr, adalah kebenaran atau prinsip yang bersumber dari dimensi ketuhanan, yang diungkap atau disingkapkan kepada manusia. Ia pada kenyataannya adalah seluruh sektor kosmik melalui beragam figur yang dibayangkan sebagai utusan, nabi, avatar, Logos, atau agensi-agensi transmisi lainnya beserta semua percabangan dan penerapan prinsip ini pada realitas-realitas yang berbeda, termasuk struktur sosial dan hukum, seni, simbolisme , sains, dan tentu saja mencakup Pengetahuan Tertinggi (Supreme Knowledge) bersama dengan media-media untuk memperolehnya.

Dalam buku itu, Nasr juga mencoba menjelaskan semua aspek tradisi Islam secara adil. Dia menggambarkan konflik antara tradisi dan modernisme dalam beragam ranah kultural. Dia pun menarik perhatian pembaca terhadap fenomena kemunculan pemikir tradisional Barat tentang Islam, seperti Louis Massignon, Henry Corbin, dan Titus Burckhardt.

Menurut Nasr, merekalah yang mencoba memahami realitas Islam dengan cara yang berbeda dari kebanyakan lawan mereka. Mereka menulis dengan simpati dan cinta untuk menangkap segala aspek dari tradisi islam dalam cara yang paling autentik.

Nasr juga menjelaskan peran agama dalam menjaga hirarki dan kualitas suci dari kosmos. Di sini, dia masuk ke dalam isu krisis lingkungan dalam perspektif tradisional.

Semua itu menunjukkan, meski temanya beragam, pandangan Nasr ditetapkan pada tradisionalisme, perenialisme, dan kesucian ilmu pengetahuan atau scientia sacra. Huston Smith menggambarkan pemikiran karakter Nasr sebagai “kaya informasi dengan kombinasi kedalaman metafisika”.

Pengaruh pemikiran Nasr di dunia Muslim dapat dilihat dari bekas-bekas mahasiswanya saat dia mengajar di Amerika Serikat (Temple University dan George Washington University), dan juga tentu saja penyebaran buku-bukunya. Beberapa murid Nasr selama dia di Amerika adalah para intelektual Muslim asal Malaysia, seperti Osman Bakar, Saleh Yaapar, Baharuddin Ahmad, dan Zailan Moris. Lalu ada asal Turki seperti Ibrahim Kalin, Walid Ansari (Mesir), dan Ibrahim Abu Rabi (Palestina).
Post a Comment

Post a Comment